Senin, 05 Mei 2014

SEKITAR PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PENYIMPANGAN DALAM PROYEK PEMBANGUNAN

Proyek Pembangunan  merupakan perbuatan hukum yag dilakukan oleh orang atau badan usaha atas dasar kesepakatan atau perjanjian (kontrak) dalam suatu waktu dan tempat tertentu, melaksanakan atau mengerjakan sesuatu kegiatan untuk meyelesaiakan suatu bangunan  fisik atau mengadakan suatu barang tertentu atau jasa tertentu yang dibutuhkan oleh suatu pengguna barang/jasa (instansi pemerintah).
Bahwa penyimpangan dimaksud adalah dalam kategori normal dalam artian batas toleransi masih dimungkinkan baik dari segi moral-etik maupun normatif, sedangkan penyimpangan tidak normal dimaksud adalah baik dari segi moral-etik maupun normatif tidak memungkinkan adanya batas toleransi yang justru sebaliknya memungkinkan penghukuman  pidana (punishmen) oleh lembaga peradilan.
Bahwa di satu segi, penyelenggaraan atau pelaksanaan suatu proyek, khususnya pembangunan fisik berupa bangunan gedung, maka terdapat tiga pihak perancang dan perekayasa bangunan yaitu : Kontraktor Perencana, kontraktor Pelaksana dan kontraktor Pengawas, yang masing-masing diharapkan secara sinergi dan profesional juga transparan serta responsibility dalam melaksanakan kegiatannya untuk mencapai tujuan akhir yang sama, yaitu berdirinya bangunan tertentu yang layak uji teknik maupun kelayakan pembiayaan. sedangkan di lain segi, instansi pemeerintah sebagai pengguna barang/jasa, diharapkan untuk dapat mengendalikan administrasi dan pembiayaan sesuai peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Bahwa dalam ketetuan pasal 25 sampai dengan pasal 27, Undang Undang No. 18 Tahu 1999 Tentang Jasa Konstruksi, telah mengharuskan ketiga pihak yaitu : Perencana, Pelaksana maupun Pengawas Proyek bertanggungjawab atas kegagalan bangunan proyek, dan untuk mengganti kerugian akibatnya, namun kegagalan bangunan proyek dimaksudkan justru adalah terpisah dalam arti jika kesalahan terletak pada aspek perencana maka pihak pelaksana dan pengawas tidak sama sekali dapat dibebankan tanggungjawab tsb. selanjutnya dalam ketentuan pasal 31, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2010, menyatakan bahwa kegagalan bangunan atau kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesipikasi pekerjaan sebagaimana dalam kontrak kerja konstruksi, baik sebagian maupun seluruhnya akibat kesalahan pengguna jasa konstruksi atau pengguna jasa konstruksi.sedangkan maksud ketentuan pasal 32, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa konstruksi jungto Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2010, adalah justru membebaskan pihak kontraktor Perencana atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan pelaksana serta pengawas. juga sebaliknya membebaskan pihak kontraktor Pelaksana proyek atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan Perencana serta Pengawas, juga sebaliknya  membebaskan pihak Pengawas atas tanggungjawab untuk ganti rugi akibat kegagalan pekerjaan konstruksi, apabila kesalahan terletak pada perbuatan hukum oleh pihak pengguna jasa dan perencana serta kontraktor Pelaksana proyek pembangunan tersebut.
Dalam kaitan tsb, masih terdapat pihak yang secara fungsional administratif sering menjadi fokus soal pengendalian pertanggungjawaban pekerjaan proyek pembangunan yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang secara berjenjang adaalah berkedudukan sebagai salah satu aparat pelaksana yang bertanggungjawab kepada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam proyek pembangunan tsb, yang menurut maksud ketentuan pasal 9 ayat (5) Peraturan Presiden No.8 Tahu 2006 Tentang perubahan ke-empat Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, jungto Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, antara lain menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bertanggungjawab secara administrasi, teknis, keuangan dan fungsional atas pelaksanaan pengadaan barang atau jasa pemerintah.
Bahwa  tidak selalu berbanding lurus (simetris) antara kegagalan pekerjaan konstruksi dengan kerugian yang diakibatkan perubahan kontrak pekerjaan konstruksi, karena dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi dimungkinkan adanya perubahan kontrak (addendum). justru maksud ketentuan dalam  pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jungto Peraturan Presiden No.35 tahun 2011 jungto Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012, telah membolehkan pihak penyedia jasa konstruksi bersama PPK untuk melakukan perubahan kontrak dalam hal kondisi lapangan pada saat pelaksanaan pekerjaan dengan gambar dan spesipikasi teknis yang ditentukan dalam kontrak awal menghendaki adanya penyesuaian antara lain : menambah atau mengurangi jenis atau volume pekerjaan termasuk meprubah spesipikasi teknis pekerjaan sesuai kebutuhan di lapangan, bahkan untuk mengubah jadwal waktu pelaksanaan pekerjaan. dengan ketentuan untuk pekerjaan tambhan pekerjaan atau volume atau spesipikasi tembahan tidak melampaui 10 % (sepuluh persen) dari  harga dalam kontrak awal, juga ketersediaan anggaran.
Dalam kaitan perubahan kontrak pekerjaan tsb, secara analogi pasal 87 ayat (2) Peraturan Presiden tsb, tidak mutlak sebagai suatu persyaratan, sebab kondisi lapangan pekerjaan memungkinkan terlampauinya jumlah 10% harga dalam kontrak awal, apalagi jika kenyataan terjadi perubahan harga setempat yang juga sudah berbeda selisih lebih dari harga patokan yang berlaku saat terjadinya perubahan kondisi lapangan pekerjaan konstruksi (waktu kemudian), apalagi jika kenyataan masih tersediannya penggunaan anggaran proyek ybs.sehingga perubahan kontrak pekerjaan dalam arti penambahan item pekerjaan (adendum kontrak) sepanjang dijustifikasi oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK proyek pembagunan tsb, dan selama masih tersedia anggaran proyek tsb, adalah tidak adil dan tidak proporsional menggap sebagai penyimpangan tidak normal apalagi dengan tuduhan terjadi peristiwa pidana khusus korupsi, dalam proyek pembangunan tsb. dengan kata lain adalah tidak mudah menganggap terjadi tindak pidana korupsi dalam pelaksaan pekerjaan suatu proyek pembnagunan (pekerjaan konstruksi) selama ketentuan undang undang dan peraturan pemerintah serta peraturan presiden terkait, tidak ditafsirkan secara sempit hanya meliputi perubahan kontrak, tanpa menimbang persoalan sistem atau mekanisme pelaksanaan anggaran maupun sistem dan mekanisme pekerjaan konstruksi itu sendiri.
Bahwa segi pertanggungjawaban kesalahan oleh ke empat pihak yang disebutkan di atas, seharusnya adalah  tanggungjawab kolektif dalam arti juridis administratif, namun bukan dalam segi teknik dan keuangan, apabila hal itu dihadapkan atas tuntutan hukum pidana khusus (tindak pidana korupsi).oleh kaenanya adalah proporsional dan adil jika pertanggungjawaban dimaksud adalah secara personalia tersendiri atau berdiri sendiri-sendiri. namun hal tsb, tidak serta merta berati semua kesalahan tertuju langsungsemata mata atau hanya kepada pihak kontraktor Pelaksana, Pengawas, Perencana maupun PPK.
Kesimpulan :
Bahwa resiko tanggugjawab ganti rugi maupun tuntutan pidana khusus korupsi lebih dominan atau cenderung merupakan tanggungjawab personil pribadi masing-masing sendiri-sendiri, dalam kaitan peristiwa hukum kegagalan pekerjaan konstruksi atau pelaksanaan proyek pembangunan, namun tidak mudah menganggap adanya suatu kejadian tindak pidana korupsi selama perubahan kontrak pekerjaan konstruksi tidak ditafsirkan secara sempit hanya sebatas sah tidaknya perubahan kontrak pekerjaan konstruksi.