Jumat, 25 Juli 2014

SPEKTRUM PERSELISIHAN HASIL PEMILU DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Perselisihan pemilihan umum baik calon anggota DPR.DPD dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, maupun Calon Kepala Daerah bahkan Calon Presiden/Wakil Presiden, adalah perelisihan antara peserta dan penyelenggara pemilu yang pokoknya mengenai kesalahan dalam pemungutan serta penghitungan suara perolehan calon/peserta pemilu yang berpengaruh atas keputusan penetapan hasil-hasilnya yang berwujud kemenangan salah satu pihak peserta pemilu.
Bahwa terdapat perbedaan pendapat yang menanyakan apakah tugas pokok fungsi dan wewenang Mahkamah konstitusi (domain) pemeriksaan perselisihan hasil pemilu (PHPU) khususnya Pemilihan calon Presiden dan Wakil presiden semata mata hanya mengenai hasil atau semata mata mengenai proses pengambilan keputusan oleh pihak penyelenggara pemilu?
Bahwa secara logis terjadinya perselisihan hasil pemilu adalah juga diakibatkan oleh terjadinya perbedaan kepentingan dalam proses pelaksanaan tahapan pelaksanaan pemilu, yang oleh peserta justru dianggap tidak demokratis, tidak jujur dan tidak adil bahkan sementara ditengarai/dituduh telah melanggar hukum publik dan konstitusi negara. sehingga secara proporsional PHPU dapat dipandang dari dua sudut yang berlainan satu sama lannya, yaitu disatu segi, jika perselisihan dimaksud adalah hasil ahir yang berwujud adanya keputusan pihak penyelenggara pemilu yang dianggap melanggar hukum sesuai fakta pembuktian yang dimiliki oleh salah satu pihak peserta pemilu, keputusan mana berkekuatan mengikat tidak hanya peserta pemilu itu sendiri akan tetapi meliputi publik atau warga negara yang mempunyai hak pilih (pemilih).sedangkan dilain segi, jika perselisihan dimaksud adalah adanya peristiwa ketidak konsistennya mekanisme dan prosedur dalam tahapan (proses) penetapan hasil ahir pemenangan salah satu pihak peserta pemilu yang dilaksanakan pihak penyelenggara pemilu, yang oleh salah satu pihak peserta pemilu justru dianggap melanggar hukum dan konstitusi negara.
Bahwa secar juridis formal, adalah wewenang Mahkamah Konstitusi untuk Memeriksa dan Mengadili Hasil Pemilihan Umum, namun saat yang sama atau saat lainnya Mahkamah Konstitusi juga memiliki rangkaian wewenang khususnya Pengujian Undang Undang meliputi Undang Undang tentang Pemilihan Umum dalam arti luas.sehingga meskipun pihak peserta pemilu presiden memfokuskan perhatian dan minatnya mengenai proses pengambilan keputusan oleh penyelenggara pemilu yang memenangkan salah satu Calon Presiden, yang telah dianggapnya sebagai suatu tindakan hukum yangjustru melanggar hukum dan konstitusi negara, oleh pihak Mahkamah Konstitusi masih memungkinkan menerima perkara PHPU Pilpres tersebut walaupun berbeda kamar pelayanannya yaitu ustru termasuk dalam kategori Perkara Pengujian Undang Undang tentang Pemilihan Presiden RI.
Bahwa Pengajuan dan pengawalan perkara Pengujian Undang Undang tentang Pemilihan Presiden RI tidak hanya mewujudkan tantangan baru bagi publik melainkan juga melahirkan akibat hukum yang baru jika ternyata terbukti terjadinya ketidak adilan konstitusional oleh pemohon/pihak yang kalah dalam Pemilu presiden tersebut, dan justru dapat merubah masa tugas kepresidenan yang telah ditetapkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945, dan berarti  berpeluang atau memungkinkan terjadinya pergantian presiden dalam masa bakti atau masa jabatannya apabila kelak Mahkamah Konstitusi justru memutuskan hal kejadian dalam permohonan Perkara PUU PILPRES tersebut.
Bahwa kemungkinan kejadian pula terdapat sengketa keweangan antara Lembaga Negara  DPR RI dan  Presiden RI apabila justru Putusan MK RI mengabulkan kelak permohonan PUU PILPRES yang diajukan oleh salah satu pihak peserta PILPRES tersebut, yang juga dapat melahirkan PERPU atau UU Baru tentang Proses Penetapan Hasil PILPRES juga soal perunahan Masa Jabatan Presiden.
Kesimpulan :
Bahwa Proses dan Prosedural Pengambilan Keputusan Tentang Kemenangan salah satu peserta Pemilu Presiden berkedudukan setara dengan daya berlaku dan daya mengikatnya dan atau sifat dari Keputusan ahir Hasil Pemilihan Umum Presiden, sehingga perbedaannya adalah sebatas jenis dan waktu Perkaranya di depan Mahkamah konstitusi. Oleh karenanya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum khususnya Pilpres berujung pangkal pada dua titik dalam sepotong garis, yang berarti  pergeseran satu persoalan sudut pandang berakibat pengurangan makna persoalan dan sudut pandang yang lainnya, jika PHPU dominan pada segi Hasil ahir Keputusan Pemenang PILPRES, maka segi proses dan prosedural Penetapan Pemenang PILPRES semakin menciut-mengecil arti dan maknanya namun dapat berakibat dominannya PUU PILPRES yang juga dominannya SKLN antara Lembaga Kepresidenan dengan DPR.


Kamis, 17 Juli 2014

PEMILIHAN PIMPINAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAN DAERAH

RUU Revisi UU tentang MPR,DPD,DPR dan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, telah menperoleh persetujuan penetapannya menjadi Undang Undang yang sebentar lagi di Undangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 2014. 
meskipun disana sini masih menuai perbedaan pendapat diberbagai kelompok masyarakat, proses pembentukan Undang Undang tsb, adalah masih dalam koridor peraturan perundang undangan yang berlaku terutama masih sesuai dengan mekanisme dan tata tertib dewan perwakilan rakyat itu sendiri.
bahwa sebagai salah satu prinsip pengaturan tentang pemilihan pimpinan dari dan oleh intern anggota Lembaga Perwakilan tsb, adalah terwujudnya kredibilitas dan kapabilitas unsur pimpinan lembaga kenegaraan sekaligus penguatan kelembagaan yang tentunya pada masa yang akan datang terbukti mapan menlaksanakan tri fungsinya dalam kehidupan bernegara berdasarkan atau menurut konstitusi negara RI.
bahwa sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat baik ditingkat pusat kekuasaan negara maupun di daerah, adalah wajar apabila figur pimpinannya juga diputuskan dan ditetapkan dalam langkah nyata secara terbuka mempraktekkan prosedur yang lebih bernilai demokrasi dengan model dipilih dan memilih diantara sesama mereka sebagai anggota.sehingga secara umum terwujud suatu organisasi yang kuat secara psikologis maupun fungsional dalam mengemban tugas dan fungsi negara. 
bahwa di satu segi, kerangka fikir logis menempatkan jika pimpinan terutama Ketua lembaga perwakilan rakyat maupun perwakilan daerah tidak mutlak atau serta merta ditentukan dari hasil perolehan kursi terbanyak dalam pemilu, sebab kenyataan sebaliknya terjadi jika tidak selalu kursi terbanyak diperoleh dari suara terbanyak hasil pemilu, yang juga salah satu sebabnya adalah karena banyak pemecahan dapil yang tidak menguntungkan satu atau beberapa peserta pemilu, dan penentuan kursi perolehan semata didasarkan pada dapil, bukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. terlebih lagi pada pemilu legeslatif terahir 2014 khususnya untuk DPRD, prosedur penentuan calon terpilih setelah persyaratan angka bilangan pembagi pemilu (BPP) maka penentuan perolehan kursi langsung dibagi secara berurut yang dimulai dari peserta yang memperoleh suara tertinggi sampai terendah. sehingga sejak semula kenyataannya terdapat peserta pemilu yang dirugikan (korban ketidak adilan) sebab masih memperoleh sisa perolehan suara yang tdk dapat terkonversi dalam pembagian kursi tahap kedua.oleh karenannya juga terbukti jika peserta pemilu ada yang memperoleh kursi terbanyak namun tidak memiliki sisa suara sama sekali dibandingkan dengan peserta lainnya yang runner up terbanyak kursi namun masih memiliki sisa suara yang banyak. sedangkan dilain segi, kerangka fikir teoritis-politik jika sistem pemilu yang baik dianut oleh negara modern atau negara berkembang adalah sistem proporsional yang memang menghendaki pemenang pemilu adalah berdasarkan perolehan suara terbenyak/terbesat tanpa dibatasi zona/daerah pemilihan lagi, dalam artian secara nyata perolehan suara tdak terputus dari satu sampai beberapa zona/daerah pemilihan secara akumulatif terkumpul menjadi satu kesatuan angka perolehan suara.
Kesimpulan :
perubahan pandangan proses pemilihan pimpinan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah lebih disemangati dengan nilai dan prinsip demokratis sesuai konstitusi negara jika secara internal organisasi kelembagaan negara yang telah terbentuk hasil pemilu justru membuka ruang waktu untuk bermusyawarah dan mufakat memilih dan menentapkan unsur pimpinan dari dan oleh sesama anggota.