Minggu, 30 Agustus 2015

PENGENDALIAN KONFLIK DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

Konflik kepentingan hukum dalam kaitan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) bukan lah merupakan fenomena sosial yang baru dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, melainkan  berkembang seiring dengan dinamika sosial yang dipengaruhi oleh sitem nilai budaya dan sosial ekonomi termasuk sistem hukum dalam negara. Apakah  hak memilih dan dipilih dari oleh dan untuk rakyat telah terjamin pelaksanaan sekaligus pengendaliannya? dan tidak terjamah oleh prilaku oknum perseorangan atau kelompok yang menginginkan pertarungan antara pemilih dan penyelenggara pemilihan umum bukan sebaliknya yaitu persaingan antara pemilih dan calon dipilih? Apakah jaminan kekebalan hukum jika terjadi konflik kepentingan antara peserta pemilukada usulan partai politik dengan penyelenggara pemilukada?
Bahwa salah satu tujuan pemilihan umum dalan sistem negara demokrasi adalah untuk menetapkan calon terpilih yang dipersiapkan oleh partai politik maupun non partisan menjadi pemimpin atau pejabat pemerintahan negara atau daerah provinsi atau kabupaten dan kota, sehingga fungsi lembaga negara berjalan sesuai harapan dan kenyataan serta secara konstitusional dapat dipertanggungjawabkan keberadaan dan tujuan pengabdiannya kepada publik.
Bahwa negara kita adalah negara hukum dengan sistem demokrasi yang konstitusional, jika nilai budaya pribadi orang perseorangan dan kelompok masyarakat yang demokratis, sedapat mungkin berjalan sesuai dengan prinsip dan semangat ketentuan hukum yang bersumber dari konstitusi negara atau undang undang dasar bahkan segenap ketentuan hukum yang diantaranya berisi nilai dasar demokrasi yang diterapkan dalam pelaksanaan pemilihan umum khususnya pemilihan umum kepala daerah, adalah seharusnya dapat diuji dan dihadapkan serta berpuncak pada ketentuan konstitusi atau undang undang dasar negara.
Bahwa pemilihan umum kepala daerah adalah mengenai hubungan antara negara atau daerah dengan rakyat atau penduduk dalam wilayah negara atau daerah tertentu dimana rakyat atau penduduk daerah diberi hak suara atau hak memilih untuk menetapkan seseorang menjadi pejabat gubernur atau bupati atau walikota sehingga termasuk salah satu hak asasi manusia warga negara atau penduduk daerah (hak konstitusional). sebaliknya seseorang calon juga mempunyai hak untuk diikutkan dalam pendaftaran pemilihan selama telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Bahwa dalam Pemilihan calon kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) yang saling berhadapan dalam hubungan (komunikasi) adalah pihak penyelenggara/pelaksana pemilihan dan pemilih serta calon kepala daerah, hubungan segi tiga mana diharapkan berjalan secara serasi dan harmonis dalam kedamaian serta kesetaraan hak maupun kewajiban antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya.
Bahwa sarana pengendalian pertentangan kepentingan (konflik) antara perseorangan dengan kelompok bahkan antara kelompok pemilih termasuk pasangan dengan kelompok penyelenggara pemilukada tidak lain adalah lembaga peradilan negara walaupun ketentuan peraturannya juga berbeda pendekatan kasusnya.
Contoh Ilustrasi kasusnya jika pasangan calon usungan partai politik ditetapkan sebagai pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan calon itu sendiri, ditentang oleh kelompok pendukung pasangan calon usungan partai politik dengan alasan pokok adalah keberpihakan sekaligus ketidak cermatan dari pihak personil penyelenggara pemilukada. oleh karena kelompok penyelenggara pemilukada terdiri dari KPU dan Panwaslu di tingkat kabupaten/kota, maka proses penyelesaian konflik hukumnya juga dapat membias (alternatif) sebagai perkara pidana atau perkara tata usaha negara (administrasi negara) bahkan kemungkinan  perkara perdata. Dalam suatu kasus kemungkinan terjadi animo kelompok pemilih termasuk pasangan calon yang melaporkan kejadian pidana atas tersangka anggota penyelenggara pemilukada dalam konteks penetapan hasil penelitian persyaratan administrasi pencalonan yang telah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan padahal sebalik oleh pasangan calon jutru menganggap telah memenuhi persyaratan. Dalam kaitan tsb, akibat perbedaan makna ketentuan peraturan pencalonan yang membedakan antara persyaratan administrasi pencalonan dengan persyaratan calon itu sendiri mengakibatkan dapat timbulnya penafsiran oleh penyelenggara pemilukada (KPU/Panwaslu),jika dimungkinkan kolaborasi sikap tindakan mencampuradukkan wewenang sekligus terindikasi penyalagunaan wewenang diantara personil KPU dan Panwaslu setempat dalam penerbitan keputusan penetapan paslon peserta pemilukada yang merugikan paslon.
Bahwa konsekuensi hukum yang dapat terjadi seperti contoh kasus ilustrasi di atas, adalah munculnya Putusan Pengadilan yang berwewenang menjatuhkan putusan pembatalan Keputusan Penetapan Paslon yang sudah diumumkan sekalius tuntutan ganti rugi bahkan tuntutan pidana atas personil penyelenggara pemilukada.
KESIMPULAN :
Bahwa perangkat hukum (sarana) dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum termasuk pemilihan gubernur bupati walikota belum lah cukup tanpa kesadaran dan ketaatan serta kepercayaan akan kebenaran peraturan pelaksanaan dibalik kebiasaan baik (etika juridis kontemplatif) dalam praktek politik hkum ketatanegaraan yang baik sesuai atau berdasarkan konstitusi negara termasuk juga penegakan hukum dan keadilan oleh lembaga Peradilan Negara Republik Indonesia dalam suasana hikamat kebijaksanaan menghadapi agenda publik pemilukada serentak.

  



1 komentar:

Eheeem mengatakan...

Izin comot kak untuk tugas saya, jurusan administrasi negara
Stisipol pahlawan 12