S
|
eorang yang mempertahankan status
sosialnya sepintas lalu adalah hal yang biasa dalam pergaulan hidup sosial
kemasyarakatan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu, hal itu justru
merupakan negasi dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh
orang yang bersangkutan, maka hal itu beresiko pelanggaran moral-etik, bahkan
pelanggaran Hukum.
Contoh Kasus, dimana seorang anggota
DPRD yang diketahui oleh orang banyak, jika ia telah pindah parpol lain dari
parpol pengusungnya pada Pemilu yll, sebab parpol asalnya sudah tidak lagi
menjadi peserta pemilu yad, akan tetapi tidak bersedia diberhentikan atau
digantikan antar waktu oleh rekan eks caleg parpol pengusungnya yang sama pada
Pemilu yll. Entah karena factor apa yang menyebabkan sampai anggota dprd ybs, justru nekad peradilankan pimpinan dprd yang
memproses usul penggantian anggota dprd tsb, padahal pimpinan tsb, adalah
berasal dari kursi parpol lain.
Bahwa meskipun tidak ada
ketentuan peraturan yang membatasi hak anggota masyarakat untuk berpartai
politik lebih dari satu organisasi, hal itu justru dapat dianggap tidak
beretika, sebab adalah tidak patut kursi dprd yang masih diduduki sekarang dan merupakan kursi perolehan parpol asalnya
semula, sedangkan dia tercatat pula sebagai unsure pimpinan parpol peserta
pemilu yad.
Bahwa sesuai dengan ketentuan
Undang Undang tentang Parpol yang berlaku, apabila seseorang pindah partai
politik, maka keanggotaannya dalam parpol asal/semula gugur/tercabut atau
dianggap berhenti atau diberhentikan keanggotaannya dari partai politik
asalnya, dan pemberhentian keanggotaan parpol adalah diikuti dengan
pemberhentian keanggotaannya dalam DPR/DPRD apabila anggota parpol ybs, masih menjabat keanggotaan dalam dpr/dprd ybs.
Segi hukum atas sikap anggota
dprd ybs yang masih mempertahankan status jabatannya atau tidak berkeinginan
secara sukarela berhenti dari jabatannya dan tidak mau menerima usul pemberhentian
atau penggantian antar waktu atas dirinya oleh rekan calon pengganti yang
memenuhi syarat dari dalam jabatan keanggotaannya di dprd ybs, adalah soal
dapat tidaknya orang tsb, dianggap merugikan keuangan Negara/daerah? Karena
masih menerima seluruh hak keuangan sebagai anggota dprd ybs?
Suatu anggapan jika anggota ybs
masih berhak menerima gaji dan tunjangan penghasilan serta hak keuangan
lainnya, adalah karena belum ada Keputusan resmi pemberhentian dari pejabat
yang berwewenang. Akan tetapi substansi persoalannya adalah taat asas Kepastian
Hukum serta tindakan proporsional, menghendaki penghentian pembayaran gaji,
penghasilan dsb, sebagai konsekwensi hukum terpenuhinya criteria konstituional
bersyarat, jika pemberhentian atau penggantian antar waktu seorang anggota
dpr/dprd, adalah tidak bertentangan dengan hukum (Undang Undang Parpol) maupun
Hukum tertinggi dalam Negara (Undang Undang Dasar), selama terpenuhi syarat
(kwalifikasi) dan kenyataan, bahwa anggota ybs, diusulkan pemberhentiannya oleh
parpol asalnya dan parpol asalnya tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau
pengurus parpol asalnya sudah tidak ada lagi, atau masih terdapat calon
pengganti dari parpol asalnya yang terdaftar dalam Daftar calon tetap (DCT) anggota
dprd Pemilu yang lalu dari dapil yang sama, sebagaimana maksud dictum putusan pengujian
undang undang tentang parpol oleh mahkamah konstitusi. sehingga suatu
kekeliruan jika alasan belum adanya Keputusan pemberhentian secara resmi oleh pejabat
yang berwewenang dalam hal ini Menteri dalam negeri, mengakibatkan pembayaran
gaji dan penghasilan anggota dprd ybs, tidak berhenti atau tidak dihentikan. Bukan
kah Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat seluruh pihak
warga Negara maupun pihak penyelenggara Negara sejak saat diterbitkan?, Putusan
Hukum Pengujian Undang Undang oleh Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan
sebagai Putusan Lembaga Tinggi Negara yang berwewenang menguji suatu Undang
Undang terhadap Undang Undang dasar
serta Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Tinggi Negara yang berfungsi sebagai
penafsir terahir Konstitusi sejakilgus pengawal Demokrasi?. Oleh karenanya adalah
anggapan keliru untuk mempertentangkan kedudukan hukum (status) keputusan
Menteri Dalam Negeri dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, apalagi lebih
cenderung terhadap kekuatan daya berlakunya Keputusan Menteri (cabang kekuasaan
eksekutip) yang dibenarkan atau diakui lebih kuat berbanding Putusan Mahkamah
Konstitusi (cabang Kekuasaan Kehakiman) atas penyelesaian persoalan serupa
dihadapan Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung.
Akses lain jika Putusan
Pengadilan maupun Mahkamah Agung yang mengadili persoalan serupa justru
menyampingkan kedudukan, Tugas dan kewenangan Mhkamah Konstitusi itu sendiri, bahkan
cenderung beranggapan jika Keputusan Meneteri lebih unggul ketimbang putusan
Peradilan dengan alasan spectrum politik Putusan mahkamah Konstitusi hanya
sebatas Kekuatan moral public (moral force) sedangkan Keputusan Menteri spectrum
Politiknya meliputi Realitas dan Moralitas publik, hal mana justru tidak
konsekwen terhadap eksistensi keberadaan Fungsi Lembaga Peradilan dalam Negara,
dan tidak sama sekali berpedoman terhadap putusan perkara parpol oleh Mahkamah
Agung itu sendiri, yang telah beranggapan dan berpendapat, jika Pengadilan
Negeri yang berpuncak pada Mahkamah Agung, adalah tidak dapat dan tidak diserahi
kewenangan oleh undang undang, untuk
menguji atau mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu kekuatan hukum
atau daya berlaku Putusan Mahkamah konstitusi, adalah berbanding lurus
(simetris) dengan daya berlakunya Undang Undang Dasar Negara, dan kekuatan
hukum mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, adalah lebih mengikat secara
luas terhadap seluruh unsur Negara atau terhadap seluruh warga negara dan seluruh
penyelenggara negara, serta dalam batas wilayah teritorial Negara, dari pada
Keputusan Menteri Kabinet Pemerintahan,keputusan menteri mana termasuk juga tindakan yang tidak menerbitkan keputusan terkait usul pemberhentian atau penggantian antar waktu anggota dprd ybs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar