Rabu, 22 Januari 2014

SIKAP BATIN TERCELA SEBAGAI KESALAHAN PELAKU



Sikap batin yang tercela lebih dominan dinilai sebagai salah satu unsure kesalahan dari terdakwa, akibatnya  maka tidak atau jarang adanya terdakwa yang lolos dari jeratan tuntutan hukuman dengan dalil dakwaan memenuhi unsure dan sifat Melawan Hukumnya perbuatan terdakwa. Hal tsb, masih merajai kasus tindak pidana Korupsi,  terutama dalam dakwaan melanggar pasal 2 dan 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, dan lebih spesifik terhadap terdakwa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil pada suatu instansi Pemerintah.
Contoh kasus, bahwa terdakwa yang seorang Pegawai pada Lingkungan Kedinasan Pemerintah Daerah,  yang oleh atas langsungnya diperintahkan untuk menanda tangani suatu laporan tertulis, tidak untuk atas nama atasan terdakwa tsb, melainkan atas penunjukan lisan, sehingga laporan kemajuan pekerjaan proyek yang diajukan oleh pelaksana proyek dengan sepengetahuan pengawas proyek ybs, ahirnya menjerumuskan terdakwa ybs dalam dakwaan sebagai turut serta melakukan perbuatan korupsi pada proyek tsb.
Bahwa dalam menguji kebenaran hakiki suatu perbuatan pidana, Unsur Kesalahan adalah pokok dan utama, yang terdiri atas Sengaja dan Kelalaian. Unsur Sengaja terdiri lagi atas sengaja sebagai Niat dan Insyaf akan kemungkinan. Kedua unsure utama tsb, berujung pada ada tidaknya suatu sikap batin yang tercela dari terdakwa sebagai pelaku tindak pidana.
Secara obyektif sebelum menyatakan terbuktinya sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang didakwakan terhadap seseorang, sejogyanya terlebih dahulu harus jelas dan akurat diketahui dengan pemahaman yang sederhana tentang hubungan sebab akibat langsung atas kejadian,dimana terdakwa benar telah (bukan akan) memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang merugikan Negara atau daerah.
Prinsip Negasi dimana tergantung kemampuan terdakwa membuktikan sebaliknya jika ia tidak bersalah melakukan hal yang didakwakan, adalah awal dari kesalahan sistem pembuktian dalam Hukum acara pidana, jika seakan akan Keyakinan Hakim lebih utama daripada Fakta perbuatan yang terungkap dipersidangan. Hal tsb, cenderung dapat merusak prinsip kebenaran hakiki secara obyektif dalam membedah Kasus pidana korupisi, sebab tidak konsisten dengan KUHAP.
Fakta hukum dalam pembuktian dapat diperoleh dan terdiri atas surat-surat dokumen tertulis maupun Electronik, juga dapat berupa Keterangan Saksi, baik saksi yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Apabila terdapat persesuaian baik antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain, maupun persesuaian bukti antara surat/dokumen dengan keteranagn saksi terutama saksi yang meringankan terdakwa, maka Penilaian terakhir adalah singkoronisasi antara kedua alat bukti dengan prinsip yang dikuatkan Keyakinan Hakim. Hal dan cara seperti itu lah yang umumnya dkehendaki berjalan dalam membedah kasus khususnya Pidana Korupsi, agar Penilaian hakim maupun public benar secara obyektif bertitik singgung untuk mendekati Prinsip bahwa setiap orang apalagi terdakwa perkara korupsi haus dan sangat mendambahkan Keadilan yang tentunya hanya dapat diperoleh langsung dari Tuhan dan hakim pemeriksa perkara.
Dalam contoh kasus tsb, Kesalahan terdakwa bertumpu pada sebab akibat penandatangan surat berupa Progres atau Laporan kemajuan pekerjaan proyrk ybs yang turut ditanda tangani terdakwa ybs sekalipun bukan kewajibannya, hanya karena melaksanakan perintah lisan atasan langsung terdakwa dalam kedudukan aktifitas sehari-hari sebagai Pegawai Staf, namun bukan sebagai penentu kebijakan dalam struktur Panitia Pelaksana Proyek terkait, oleh Hakim pemeriksa perkara tetap menjatuhkan Hukuman kepada terdakwa ybs sekalipun ada korting hukuman yang agak lumayan (vonis hukuman rendah).Oleh karena itu penerapan sistem Pembuktian Negatif dalam Hukum Pidana Korupsi, terutama sikap batin yang tercela lebih dominan dinilai sebagai unsur kesalahan pelaku perbuatan korupsi,perlu ditinjau untuk penyempurnaan sistem Pembuktian dalam rangka Penegakan Hukum dan Keadilan.

Tidak ada komentar: