Sikap batin yang tercela lebih dominan dinilai sebagai salah
satu unsure kesalahan dari terdakwa, akibatnya
maka tidak atau jarang adanya terdakwa yang lolos dari jeratan tuntutan
hukuman dengan dalil dakwaan memenuhi unsure dan sifat Melawan Hukumnya perbuatan
terdakwa. Hal tsb, masih merajai kasus tindak pidana Korupsi, terutama dalam dakwaan melanggar pasal 2 dan
3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, dan lebih spesifik terhadap terdakwa
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil pada suatu instansi Pemerintah.
Contoh kasus, bahwa terdakwa yang seorang Pegawai pada
Lingkungan Kedinasan Pemerintah Daerah,
yang oleh atas langsungnya diperintahkan untuk menanda tangani suatu
laporan tertulis, tidak untuk atas nama atasan terdakwa tsb, melainkan atas
penunjukan lisan, sehingga laporan kemajuan pekerjaan proyek yang diajukan oleh
pelaksana proyek dengan sepengetahuan pengawas proyek ybs, ahirnya
menjerumuskan terdakwa ybs dalam dakwaan sebagai turut serta melakukan
perbuatan korupsi pada proyek tsb.
Bahwa dalam menguji kebenaran hakiki suatu perbuatan pidana,
Unsur Kesalahan adalah pokok dan utama, yang terdiri atas Sengaja dan
Kelalaian. Unsur Sengaja terdiri lagi atas sengaja sebagai Niat dan Insyaf akan
kemungkinan. Kedua unsure utama tsb, berujung pada ada tidaknya suatu sikap
batin yang tercela dari terdakwa sebagai pelaku tindak pidana.
Secara obyektif sebelum menyatakan terbuktinya sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan yang didakwakan terhadap seseorang, sejogyanya
terlebih dahulu harus jelas dan akurat diketahui dengan pemahaman yang
sederhana tentang hubungan sebab akibat langsung atas kejadian,dimana terdakwa
benar telah (bukan akan) memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang
merugikan Negara atau daerah.
Prinsip Negasi dimana tergantung kemampuan terdakwa
membuktikan sebaliknya jika ia tidak bersalah melakukan hal yang didakwakan,
adalah awal dari kesalahan sistem pembuktian dalam Hukum acara pidana, jika
seakan akan Keyakinan Hakim lebih utama daripada Fakta perbuatan yang terungkap
dipersidangan. Hal tsb, cenderung dapat merusak prinsip kebenaran hakiki secara
obyektif dalam membedah Kasus pidana korupisi, sebab tidak konsisten dengan
KUHAP.
Fakta hukum dalam pembuktian dapat diperoleh dan terdiri
atas surat-surat dokumen tertulis maupun Electronik, juga dapat berupa
Keterangan Saksi, baik saksi yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa.
Apabila terdapat persesuaian baik antara keterangan saksi yang satu dengan
saksi yang lain, maupun persesuaian bukti antara surat/dokumen dengan
keteranagn saksi terutama saksi yang meringankan terdakwa, maka Penilaian
terakhir adalah singkoronisasi antara kedua alat bukti dengan prinsip yang
dikuatkan Keyakinan Hakim. Hal dan cara seperti itu lah yang umumnya dkehendaki
berjalan dalam membedah kasus khususnya Pidana Korupsi, agar Penilaian hakim
maupun public benar secara obyektif bertitik singgung untuk mendekati Prinsip
bahwa setiap orang apalagi terdakwa perkara korupsi haus dan sangat
mendambahkan Keadilan yang tentunya hanya dapat diperoleh langsung dari Tuhan
dan hakim pemeriksa perkara.
Dalam contoh kasus tsb, Kesalahan terdakwa bertumpu pada
sebab akibat penandatangan surat berupa Progres atau Laporan kemajuan pekerjaan
proyrk ybs yang turut ditanda tangani terdakwa ybs sekalipun bukan
kewajibannya, hanya karena melaksanakan perintah lisan atasan langsung terdakwa
dalam kedudukan aktifitas sehari-hari sebagai Pegawai Staf, namun bukan sebagai
penentu kebijakan dalam struktur Panitia Pelaksana Proyek terkait, oleh Hakim
pemeriksa perkara tetap menjatuhkan Hukuman kepada terdakwa ybs sekalipun ada
korting hukuman yang agak lumayan (vonis hukuman rendah).Oleh karena itu
penerapan sistem Pembuktian Negatif dalam Hukum Pidana Korupsi, terutama sikap
batin yang tercela lebih dominan dinilai sebagai unsur kesalahan pelaku
perbuatan korupsi,perlu ditinjau untuk penyempurnaan sistem Pembuktian dalam
rangka Penegakan Hukum dan Keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar