Senin, 27 Januari 2014

ANEKA TAFSIR HAK MILIK ATAS TANAH

 M
ulti  tafsir hak milik atas tanah, telah dan masih melanda masyarakat sejak dulu sampai sekarang, keinginan penyelenggara negara maupun publik untuk menyatukan peraturan perundang undangan yang mengatur hak milik atas tanah, telah berjalan sejak diundangkannya Undang Undang No.5 Tahun 1960,Tentang Pokok Pokok Agraria, namun masih jauh dari kesempurnaan. Keadaan  itu lebih buruk lagi dengan terbitnya berbagai putusan pengadilan yang saling bertentangan mengadili  perkara mengenai Hak Milik atas Tanah.
Contoh suatu Kasus tanah perumahan yang oleh Pengadilan Agama, telah mengadili dan memutus, jika sebidang tanah harus dibagi diantara sesama ahli waris, karena dinyatakan sebagai bagian harta peninggalan warisan yang belum terbagi antara sesame ahli waris yang sah, juga sebab salah seorang ahli waris tsb, dianggap melanggar larangan hibah yang melebihi sepertiga bagian dari seluruh harta peninggalan. setelah eksekusi atau pelaksanaan Putusan Pengadilan, tanah tsb,  dijual oleh penerima pembagian warisan oleh Pengadilan tsb, kecuali ahli waris ex penerima Hibah tsb, dihadapan Notaris, atas dasar Penguasaan Fisik dan atas Penetapan Eksekusi Putusan tsb, sehingga penerima eks hibah kemudian pun mengajukan gugatan kepada penerima pembagian harta warisan tsb, pada Pengadilan Negeri, namun Pengadilan Negeri tsb, telah memutus  dengan menyatakan tidak menerima gugatan penggugat, dengan anggapan bukan perkara Hak Milik, melainkan Kewarisan dan telah dieksusi putusan oleh Pengadilan Agama tsb, dengan perintah penetapan pembagian masing-masing ahli waris dari si wafat, kecuali ahli waris eks penerima hibah atas tanah tsb.
Disatu segi, Hak Milik dapat diperoleh baik secara kewarisan, atau Penguasaan nyata (fisik), atau Transaksi jual beli atau penyerahan fisik maupun tindakan nyata yang bertujuan untuk melepaskan hak sesuatu kepada seseorang, sedangkan dilain segi, Hak Milik dapat lenyap atau hapus karena dicabut oleh suatu Peraturan Perundang Undangan atau Putusan Pengadilan.
Bahwa  Hak waris timbul karena adanya hubungan hukum keluarga yang ditentukan oleh peraturan, dengan kata lain, hak waris adalah hak yang timbul karena status dan derajat hubungan darah antara seseorang dengan seseorang yang telah wafat, dengan segala akibat atas harta benda yang berasal dari si wafat, sehingga Hak Milik atas tanah yang berasal dari adanya Hak waris seseorang, terbit asal mula dari status hukum perseorangan (pribadi), tidak mengutamakan status tanah, diperoleh semula dari siapa lagi dan dengan cara bagaimana lagi. Betapa tidak, bahwa  seorang cabang bayi yang masih dalam kandungan seorang Ibu, oleh Hukum sudah dianggap sebagai orang pendukung hak maupun kewajiban meskipun kenyataannya belum lahir dimuka bumi. Oleh karenanya apabila timbul perbedaan paham atau sengketa soal siapa yang harus dibenarkan dan diakui memperoleh hak milik atas sebidang tanah, terlebih dahulu ditentukan pendekatan pemahaman apakah tanah tsb, terlepas dari sebab akibat hubungan darah seseorang dengan seseorang yang wafat dan yang meninggalkan harta tanah tsb. dengan kata lain bahwa hak milik atas tanah yang timbul karena kewarisan lebih dominan dtentukan atas status hukum  orang perseorangan, sedangkan soal status barang yang ditinggalkan oleh si wafat adalah soal lanjutan.
Bahwa  Pemahaman seperti tsb, dianut dalam hukum islam. Lain halnya menurut hukum adat, jika hak milik atas tanah, dominan ditentukan dengan penguasaan fisik seseorang atas tanah atau status tanah itu sendiri, sebagai bagian dari hak  masyarakat setempat (hak ulayat), dalam artian bahwa selama seseorang diakui diterima oleh anggota kekerabatan persekutuan masyarakat desa setempat, dan sepengetahuan serta izin pemangku adat setempat,  telah nyata mengerjakan atau mengusahakan sekian lama tanah tsb, maka hubungan hak atas tanah oleh orang tsb, tetap diakui kebenarannya. hal lain yang mungkin timbul adalah dalam lalu lintas perikatan atau perjanjian tanah atau yang ada hubungannya dengan obyek sebidang tanah tsb, yang bertujuan memindahkan Hak milik secara terus menerus (adol sande/la’buru/ngajual lepas), misalnya telah menjadi obyek jual beli dari oknum orang seperti dalam contoh kasus tsb di atas, yang telah juga mengalihkan dengan cara jual beli terhadap orang lain lagi dst. apakah pembeli terahir dapat dianggap harus menanggung resiko kerugian akibat transaksi para penjual tanah sejak semula? Atau apakah seseorang ahli waris dengan dalil tanah eks hibah yang diterima orang tuanya masih dan seharusnya mendapat pengakuan sebagai bagian dari harta warisannya?. Dst, masih tersisa banyak pertanyaan lainnya.
Bahwa dari contoh kasus tsb, sepintas lalu semua pihak terkait mengharap perlindungan hukum dengan asa keadilan, dari yang klasik sampai mutakhir. betapa tidak semuanya berujung penafsiran kebenaran hukum dengan adanya Putusan Pengadilan yang telah atau yang aka ada terbit.
Di satu segi,  jika kelompok ahli waris yang menerima penetapan pembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama setempat, lalu ahli warisnya lagi yang menjual tanah eks obyek perkara, terlepas apakah kelompok ahli waris terahir memperoleh kuasa khusus menjual kalau orang tuanya masih hidup, atau dengan sendirinya perbuatan hukum menjual adalah sah, hanya karena jual beli terjadi dihadapan Notaris, maka pembeli patut memperoleh perlindungan hukum, sedangkan dilain segi, kelompok ahli waris eks penerima hibah tanah, juga patut memperoleh perlindungan hukum, Sebab tanah sejak semula telah terdaftar sebagai hak milik (bersertifikat) atas nama orang tuanya,  dan sampai sekarang belum satu pun Putusan Pengadilan yang mencabut atau membatalkan sertifikat tanah atas nama pribadi orang tua dari kelompok ahli waris eks penerima Hibah tanah tsb. Bahkan sebelum berperkara antara ahli waris semula, sertifikat tanah telah terbit dalam arti bahwa secara nyata hak milik tanah tsb, sejak semula terdaftar atas nama salah seorang ahli waris (eks penerima Hibah), sehingga penafsiran yang kurang tepat dan tidak sempurnah jika kemudian Putusan Pengadilan Agama setempat, membagi tanah dan mengeksekusi putusannya,  waris, juga jauh masa terbitnya sertifikat terlebih dahulu dari pada pendaftaran perkara pada Pengadilan Agama tsb. Oleh karenanya dalam Kasus tsb, sejogyanya ditafsirkan dominan sebagai Perkara Hak Milik, dibandingkan sebagai Perkara Kewarisan, sebab status tanah tsb, secara formal terdaftar sebagai Hak milik seseorang, sehingga kemudian telah menjadi hak waris pula, terlepas dari soal cara perolehan tanah tsb, sejak semula apakah belum terbagi maupun telah diberikan atau dihibahkan lagi kepada seseorang. Pandangan seperti tsb, mungkin mendekati kesempurnaan asa keadilan, mengingat prinsip dalam hukum acara perdata, jika kebenaran formal lah diutamakan dalam artian bahwa jika alat bukti dalam berperkara yaitu ada Sertifikat yang sah, serta didukung persesuaiannya dengan keterangan saksi, maupun suatu persangkaan kenyataan, yang cukup mengungkap adanya kebenaran status tanah sebagai hak milik seseorang, kenapa tidak hal itu dapat diakui dan ditetapkan sebagai kebenaran hak milik seseorang. Prinsip itu lah yang sejogyanya dapat diikuti dengan sikap batin yang sempurnah, bahwa keadilan berdasarkan Ketuhanan yang maha esa lah dibalik keadilan semu atau palsu lah yang paling sempurnah di muka bumi.
Bahwa hak milik ahli waris dari eks penerima hibah dalam perkara semula, pernah juga diuji pada Pengadilan tata usaha Negara, dimana penggugat mengklaim jika sebidang tanah tsb, terhisap kedalam bagian tanah dalam sertifikat yang dipegang penggugat, namun kenyataannya jika sertifikat tsb, tidak memiliki kepastian hukum akibat berstatus hukum sebagai pendaftaran sementara saat pertama kali terdaftar di instansi agraria, dimana tidak tercantum surat ukur luas letak obyek tanahnya, hal tsb, berdampak negative, karenanya oleh Pengadilan tsb, diputus sebagai gugatan yang tidak dapat diterima, sebagai konsekwensi hukum bahwa sertifikat ahli waris dari eks penerima hibah dalam perkara kewarisan yang semula telah diputus oleh pengadilan lain (Pengadilan Agama), sampai saat berperkara pun  tidak pernah  dicabut atau dibatalkan oleh Pengadilan tata usah negara tsb. Oleh karena itu dari segi adminstrasi, bukti hak milik ahli waris dari seorang eks penerima hibah tanah dalam wujud Sertifikat adalah sah dan berkekuatan hukum mengikat. sedangkan dari  segi cara perolehan hak milik, maka jelas sejak semula Hibah yang diterima oleh seseorang tsb, juga adalah sah, sebab kejadiannya jauh waktu sebelum berlakunya ketentuan hukum (Kompilasi Hukum Islam) yang melarang pemberiian hibah yang melebihi sepertiga bagian total harta peninggalan dari seorang pewaris (si wafat).sebagai konsekwensi hukum bahwa kejadian hukum dalam beberapa kasus tsb, maka Hak milik ahli waris dari seseorang eks penerima hibah, adalah memenuhi syarat sah, sehingga harus lah dipandang sebagai perkara Hak Milik atas tanah, bukan sebagai perkara kewarisan lagi, dengan alasan pembenaran jika sejak pendaftaran hak atas  tanah pertama kali, orang penerima hibah atas sebidang tanah telah terbit penetapan hak miliknya, yang berkekuatan mengikat baik terhadap ahli waris kemudian terhadap pihak ketiga.
Dalam kaitan pihak ketiga yang menguasai tanah tsb, akibat transaksi jual beli dengan pihak yang pertama kali menerima pembagian warisan sekalipun berdasarkan putusan pengadilan dan telah di eksekusi, sebelum terjadinya kesepakatan antara ahli waris eks penerima hibah dengan ahli waris eks penerima pembagian atau pemecahan budel waris atas tanah tsb, maka terdapat kelemahan hukum formal sebagai akibat dari perikatan jual beli yang terjadi berdasarkan kesepakatan semata antara penerima eks pembagian atau pemecahan budel warisan tanpa melibatkan ahli waris eks penerima hibah tanah tsb, kesepakatan mana diketahui oleh notaris sebatas pendaftaran suratnya (wermaarking), tidak atau bukan dibuat oleh dan dihadapan notaris ybs, akte jual beli tanah mana menunjuk ketentuan khusus (klausul), jika jual beli antara penjual dan pembeli tanah tsb, adalah hasil kesepakatan bersama oleh pihak penerima awal pembagian  harta warisan atas tanah tsb, untuk bersama sama bertindak sebagai pihak penjual berhadapan pihak pembeli (pihak ketiga).sehingga pihak eks penjual dan eks pembeli tanah tsb, masih dimungkinkan dianggggap tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yang diancam Batalnya demi hukum transaksi jual beli tanah tsb. syarat mana adalah karena perjanjian jual beli tsb, tidak memenuhi syarat adanya suatu sebab yang halal, dalam arti bahwa transaksi jual beli tidak terjadi berdasarkan kesepakatan jual yang mengikutkan kesepakatan bersama dari pihak pemilik semula sertifikat tanah eks obyek jual beli tsb,meskipun mereka ahli waris pemegang sertifikat terdahulu bukan pihak yang terahir yang menguasai fisik tanah tsb. Oleh karena itu sejogyanya tetap diakui jika ahli waris eks penerima hibah atas tanah sekaligus sebagai pemegang sertifikat pendaftaran hak milik pertama kali selama belum adanya putusan pengadilan yang membatalkan atau mencabut sertifikat tsb, adalah sah sebagai pemilik atas tanah tsb, sebagai diperoleh secara kewarisan dari timbulnya Hak milik sejak semula atas diri pewarisnya (si wafat). oleh karenanya pula tuntutan pengembalian penguasaan atas tanah tsb, tetap terbuka bagi ahli waris eks pemilik semula sertifikat tanah tsb.


Tidak ada komentar: