astra
hukum dimaksud adalah suatu seni atau praktek cara pandang atas hubungan pengaruh
penerapan peraturan yang sedang atau akan berlaku dan mengikat terhadap pendukung
hak dan kewajiban dalam pergaulan hidup bersama.
Bahwa keuangan daerah adalah segala
aktifa dan passifa kekayaan berupa uang dan barang kepunyaan daerah (publik),
baik yang dikuasai langsung maupun dalam penguasaan pihak lain atau pihak
ketiga serta segala keuntungan dan kerugian yang dapat ditaksir atau dihitung
dengan uang. sedangkan APBD adalah gambaran perkiraan penerimaan dan
pengeluaran kebutuhan daerah dalam satu tahun takwin dalam bentuk angka angka
dan uraiannya, yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan oleh aparatur sipil
Negara di daerah. Juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
merupakan gambaran umum keadaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran
yang sekaligus sebagai perkiraan keadaan
keuangan daerah satu tahun kedepan.
Sepintas
pemahaman jika anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) itu dapat dilaksanakan setelah penempatannya dalam wadah pembuatan
peraturan daerah, yaitu Lembaran Daerah Provinsi, maupun Kabupaten atau Kota.
namun dalam dinamika pelaksanaannya, senantiasa mengalami masalah yang kompleks,
apabila bertitik taut dengan persoalan hasil pemeriksaan atau evaluasi dan pengawasan
atas pelaksanaannya, apalagi terkait dengan mekanisme atau sistem pertanggungjawabannya.
Bahwa soal pelaksanaan pengawasan,
evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan daerah khususnya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) adalah penting, karena tautannya secara organisasi fungsional
administratif, merupakan perpanjangan tangan dari organisasi dan kebijakan pemerintah
pusat dan daerah atau daerah atasan, yang berdampak (berimplikasi) pada aspek
kebijakan pengelolaan anggaran instansi pemerintah dan pembangunan di daerah, baik yang direncanakan dan dibaiayai oleh
pusat maupun yang direncanakan, dilaksanakan serta dibiayai oleh daerah
provinsi atau kabupaten dan kota itu sendiri.
Bahwa perputaran (siclus) anggaran
tidak lah terputus dalam suatu lingkaran, sebab menjelang akhir tahun
pelaksanaan anggaran berjalan, sudah ditetapkannya lagi anggaran yang
dipergunakan dalam setahun kedepan. Rasio bentuk atau siklus anggaran seperti
ini sejak dulu dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan anggaran daerah (pemerintah
daerah bersama DPRD) bahkan oleh pemerintah pusat bersama DPR. Kemungkinan
polarisasi sistem penganggaran keuangan Negara maupun daerah, akan dimulai
dengan perubahan siklus sampai kepada mekanisme dan pertanggungjawaban pelaksanaan
anggaran, dengan berkembangnya aspirasi publik yang cenderung untuk tidak
menetapkan waktu yang bersamaan pemberlakuan antara anggaran pusat dengan
anggaran daerah (APBN dan APBD). salah satu alasan logisnya adalah masing
masing bentuk anggaran antara APBN dan APBD tidak cepat dapat menampung
dinamika persoalan pembiayaan yang dihadapi masing masing.
Contoh persoalan bahwa APBD yang telah ditetapkan yang memuat
perkiraan pembiayaan yang akan kembali ditarik oleh pusat pada tahun berjalan,
dalam tahun berjalan pula dialih poskan peruntukannya menjadi pos penerimaan
lain dari pos anggaran yang ditetapkan semula oleh pusat, sehingga berakibat
pergeseran bahkan perubahan anggaran yang tidak terelakkan oleh daerah.
Bahwa terlepas dari postur anggaran,
maka pola pendekatan kesusastraan hukum dimaksud adalah bagaimana ahli/sarjana
hukum atau Aparat sipil Negara tertentu termasuk legislator daerah (public), dapat
melakukan penafsiran (analogi) atas segenap peraturan perundang undang terkait
pelaksanaan atau pertanggungjawaban anggaran, dan bagaimana ahli/sarjana hukum
atau Aparat sipil Negara tertentu termasuk legislator daerah (publik), dapat memberlakukan
atau menyusun kaidah terbalik suatu ketentuan peraturan dalam mengisi
kekosongan perundang undangan atau mempertentangkan tautan secara timbal balik
antara dua atau lebih ketentuan peraturan dalam persoalan yang sama, terkait
dengan pelaksanaan dan pengawasan atau pertanggungjawaban anggaran (argumentum
acontrario), serta bagaimana ahli/sarjana hukum atau Aparat sipil Negara
tertentu (public) termasuk legislator daerah dapat melakukan penerapan kaidah
yang mengerucut atau mempersempit maknanya agar tetap dapat digunakan dalam
penerapan ketentuan dalam persoalan yang sama terkait dengan pelaksanaan dan
pengawasan atau pertanggungjawaban anggaran.
Contoh persoalan juga bahwa jalan
keluar (flow up) hasil temuan pemeriksaan keuangan belum atau hanya sebagian
yang diselesaiakan oleh pemerintah daerah setempat, sebab alasan yang beraneka
ragam, mulai dari personil yang terkena dampak sampai pada terhentinya pelaksanaan
proyek pembangunan fisik dengan kesulitan utamanya jika pemborong pekerjaan
(kontraktor pelaksananya) telah pindah domisili bahkan perusahaannya tidak
terdaftar lagi di daerah yang bersangkutan. Akibat nyata kejadian tsb, adalah
segi ketentuan teknis pelaksanaan anggaran mengalahkan ketentuan pengawasan dan
pengendalian anggaran, yang mengakibatkan juga segi pertanggungjawaban yang
tidak singkron bahkan terkesan amburadol alias kasat kusut menjadi tidak
efektif dan tidak efisien, bahkan sulit untuk diimplementasikan atau dijadikan
realita. Keadaan tsb, lebih diperparah dengan silaunya berbagai ketentuan
pengawasan dan pengendalian teknis anggaran sebagai akibat keberadaan ketentuan
fiktip yang mengawan awan di angkasa luar pemikiran sehat dan tepat atau
ketentuan yang tidak mungkin untuk diterapkan.
Contoh bahwa suatu program
pembangunan fisik yang tergolong proyek pemerintah pusat yang dilaksanakan di
daerah (DIPA Kementererian), sebab minimnya bantuan atau kucuran dananya
mengakibatkan pelaksanaan proyek terhenti alias terbengkalai, naum anehnya oleh
pengawas dan pelaksana proyek dilaporkan selesai dalam lingkup sebagian
pekerjaan yang direncanakan semula.dan hasil pemeriksaan pertanggungjawaban
anggarannya dinyatakan jika oknum pelaksana dan pengawas proyek, bahkan panitia
pembangunan selain panitia tender dan perencana dinyatakan melanggar hukum
bahkan sudah ada oknum diantaranya yang menjalani hukuman penjara.
Contoh lain persoalan bahwa palaksanaan
kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis aparat oleh pihak ketiga (pengusaha)
yang menerima sekaligus biaya operasional sebelum menyelesaikan seluruh bagian
(item) dalam kontrak kerjanya, yang diperparah lagi dengan adanya perubahan
tempat dan waktu pelaksaan di wilayah lain, serta adanya penolakan penerimaan
bantuan anggaran oleh aparat penyedia sarana pelaksanaan kegiatan di wilayah
penerima pengalihan tsb, yang
berbuntut tanggung jawab mutlak
perbendaharaan maupun ganti rugi.
Ketiga pertanyaan tipe pendekatan
kesusastraan hukum tsb di atas, yaitu atas kaidah larangan pengeluaran
uang atas pos belanja yang tidak
tersedia anggaran biayanya. hal ini mudah dianalogikan oleh petugas pelaksana,
sebab semua pos belanja pengeluaran sudah tertampung dalam APBD dan
penjabarannya yang sudah ditetapkan pada tahun berjalan. Artinya bahwa
pengeluaran uang sudah bisa dilakukan selama ada surat perintah pembayaran
dengan formulir SPM/SPP/SP2D.
Kaidah lainnya adalah larangan pemotongan lansung pengeluaran atas belanja
tidak lansung (misalnya bantuan keuangan) atas pelaksanaan kegiatan pelatihan
aparat, oleh pihak ketiga akibat pengalihan atau perubahan jadwal dan tempat
serta delegasi pelaksana pihak ketiga. Artinya Bahwa pembayaran pos
pengeluarannya hanya dilakukan sekali kepada pihak penerima penandatangan
kontrak kegiatan tsb, agar tidak melampaui ambang batas anggaran dalam dokumen
pelaksanaan anggaran kegiatan terkait. Namun kesulitan benturan kepentingan tidak
terelakkan, ketika pihak pelaksana kegiatan atau oleh pihak ketiga, dialihkan
kepada pihak ke tiga lainnya bahkan pihak ke empat, yang mengajukan usul
pembiayaan tambahan untuk menutupi biaya operasionalnya sejak menerima peralihan pelaksanaan sampai batas
akhir waktu pelaksanaan kegiatan tsb. Sehingga hasil pemeriksaan oleh bendahara
dilaporkan sebagai melakukan penyimpangan akibat tambah biaya pengeluaran yang
tak terduga dan sebagai akibat tagihan rekanan yang tidak dapat diselesaikan
meskipun nyata telah melaksanakan sebagian besar bahkan seluruhnya kegiatan terkait.
Bahwa kejadian terakhir tsb, jika
dihubungkan dengan pola pendekatan hukum yang kemungkinan dapat diterima
sebagai suatu kebenaran untuk melakukan pembayaran bertahap atas pengeluaran
biaya bantuan keuangan kepada pihak ketiga sebagai pelaksana kegiatan terkait.
Artinya ketentuan larangan potongan lansung atas pembayaran kegiatan terkait,
diperluas makna pemberlakuannya menjadi pembayaran tertuda secara bertahap
sampai pembayaran lunas diterima oleh pihak yang berhak, dengan kata lain dapat
disisihkan tahapan pembayaran oleh bendahara ybs.
Bahwa terhadap ketentuan cara
pembayaran terakhir mencerminkan jika ketentuan sekali pencairan pembayaran
tagihan adalah dimungkinkan diterima menjadi tahapan kedua dan seterusnya
selama disetujui olek penerima yang berhak atas pembayaran dan oleh kuasa
pengguna anggaran sebagai pertanggungjawaban kebenaran hak tagih kegiatan terkait,
Menunjukkan jika ketentuan larangan terdahulu dibalik pembenarannya dan
pemberlakuannya (argumentum acontrario), agar dapat menampung kondisi nyata teknis
keuangan dalam anggaran terkait. Sedangkan ketentuan lain dari kejadian yang
berbeda yaitu pengadaan barang yang lansung dilaksanakan oleh
pemborong/pengusaha pihak ketiga (pemegang kuasa pembelian) sebelum pihak
ketiga (pemberi kuasa pembelian) atau pihak pemenang tender menandatangani
kontraknya terhadap pemberi/pengguna barang. dalam hal ini suatu ketentuan
larangan melakukan pengeluaran pencairan dana jika pengguna barang ybs, belum
menerima bukti penyerahan barang berupa berita acara atau dokumen termasuk
faktur pembelian barangnya.
Dalam kaitan tsb, kemungkinan
ketentuan larangan terkait, terdapat dalil pembenaran sebab kondisi tertentu
yang menghendaki waktu penerimaan barang dipercepat adanya, sehingga
larangannya diberlakukan dengan cara ketentuan diperhalus atau diperciut
maknanya pemberlakuannya menjadi ketentuan
larangan tsb, tetap ada namun dimungkinkan dokumen penyerahan barang
diserahkan waktu berikutnya dari waktu penyerahan barangnya selama pihak yang
menyerahkan barangnya atau kuasa dari pemenang tender pengadaan ybs, terlebih
dahulu memegang surat perintah melaksanakan pekerjaan pengadaan tsb untuk
pertanggungjawabannya, sehingga menujukkan juga jika ketentuan teknis
administrasi membenarkan penghalusan suatu ketentuan larangan pencairan dana
selama tidak merugikan secara nyata pihak pengguna barang ybs.
Contoh lain pula bahwa suatu
program pembangunan fisik yang tergolong proyek pemerintah pusat yang
dilaksanakan di daerah tertentu (DIPA Kementererian), sebab minimnya bantuan
atau kucuran dananya, mengakibatkan pelaksanaan proyek terhenti alias
terbengkalai, naum anehnya oleh pengawas dan pelaksana proyek dilaporkan
selesai dalam lingkup sebagian pekerjaan yang direncanakan semula. dan hasil
pemeriksaan pertanggungjawaban anggarannya dinyatakan jika oknum pelaksana dan
pengawas proyek, bahkan panitia pembangunan selain panitia tender dan perencana
dinyatakan melanggar hukum, bahkan sudah ada oknum diantaranya yang menjalani
hukuman penjara.
Bahwa ketentuan pencairan dana atas
pelaksanaan suatu proyek fisik jika pembayaran tidak dapat dilakukan sebelum
selesainya penyerahan fisik oleh pelaksana kepada pengguna jasa konstruksi
terkait, nampaknya diperluas makna (analogi) semua pihak/oknum terkait dengan
teknis pelaksana maupun pengawas lapangan sekalipun pengawas lapangan maupun
kuasa pelaksana masing masing ybs adalah bukan pemegang kontrak (tidak
tergolong pemenang tender pelaksana maupun pengawas dalam tender pengawas
proyek terkait). Dalam kaitan ini pun praktek analogi ketentuan pertanggungjawaban
anggaran proyek pembangunan tsb, justru kurang tepat sasarannya akibat ketidak
jelasan posisi oknum tertentu dengan perbuatan materil yang menyebabkan
pengeluaran biaya proyek yang diasumsikan sebagai perbuatan merugikan keuangan
Negara/daerah. Sejogyanya apabila cara pandang ketentuan hukum terkait proyek
tsb, justru harus dipersempit makna pemberlakuannya dengan salah satu alasan
logisnya adalah maksud selesainya penyerahan fifik hasil pekerjaan proyek
adalah totalitas hasil pekerjaan, sehingga apabila masih terdapat bagian
pekerjaan proyek yang belum dilaksanakan, yang juga disebabkan ketiadaan dana
atau ketidak tersedianya lagi pendanaan proyek tsb dalam pos mata anggaran
terkait, maka ketentuan termaksud harus diterapkan juga secara sempit makna dan
diberlakukan terhapadap oknum yang terbatas pula, yang tidak meliputi oknum
yang berada diluar kontrak kerja proyek itu sendiri. Oleh karenannya praktek
atau seni pandangan hukum atas peristiwa tsb, harus juga menerapkan asas
keadilan (fair play) terhadap semua pihak terkait pertanggungjawaban hukum.
Aspek lain juga bertaut aspirasi
publik dalam perencanaan Pembangunan Daerah, adalah daya serap dan tamping
salur aspirasi kelompok Masyarakat di pelosok pedesaan, yang membutuhkan
bantuan keuangan dari Pemerintah, yang juga terkait tujuan dan manfaat umum dalam
meningkatkan pendapatan dan derajat kesejahteraannya. Meskipun terkadang dan
terkesan jika forum musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang), juga tidak
cepat dan tepat menampung aspirasi masyarakat terbawah di pelosok pedesaan, dengan
alasan tidak atau bukan prioritas saat Musrembang berlansung, namun atas upaya
kerja keras dan bersinergi dengan aparat pelaksana di daerah, oleh lesislator
daerah, senantiasa memperjuangkan dalam forum atau rapat khusus DPRD saat
penyusunan dan penetapan APBD, dengan prinsip akselerasi dan manfaat umum, serta motivasi juga rasa empatinya kepada
warga masyarakat setempat, sekali pun wilayah perencanaan pembangunan itu bukan
dapil atau eks dapilnya, dan masyarakat setempat tidak tergolong konstituen
partai politiknya. Sehingga sangat tidak beralasan logis lagi adanya kecurigaan
permainan anggaran yang didramatisir oleh legislator itu sendiri terhadap aspirasi
kepentingan publik. Sehingga
prinsip kejelasan tujuan dan dinamika anggaran lebih dominan atau sejajar
dengan prinsip efisiensi anggaran, apalagi dengan adanya aspirasi kepentingan
masyarkat dan kebutuhan yang mendesak dapat diterima walupun sebelumnya
diasumsikan dalam musrembang sebagai kebutuhan yang bukan utama/prioritas.
Dari pola pikir pendekatan model
kesusastraan hukum seperti hal termaksud di atas, menunjukkan adanya kondisi
selintas dalil pembenaran segi pertanggungjawaban administrasi dan juridis
praktis dalam pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah. Oleh karenanya pula
ketiga pola pikir kesusastraan hukum sebagaimana tsb di atas, senantiasa
disesuaikan dengan dinamika penyelenggaraan teknis tata kelola pemerintahan
daerah yang baik dan benar, terutama dalam proses perencanaan sampai pembahasan
serta penetapan persetujuan anggaran daerah, agar terdapat singkronisasi dan
harmonisasi pencapaian tujuan pemerintahan dan pembanguna daerah itu
sendiri.-