P
|
ersepsi
publik atas praktek penyelenggaraan Negara dalam kejadian terakhir tentang
terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Tentang Mahkamah
Konstitusi, menunjukkan tidak harmonisnya hubungan segi tiga antara Lembaga
Negara Kepresidenan dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta Mahkamah Konstitusi
RI. Betapa tidak, Perpuu yang diajukan dan ditetapkan oleh Presiden kepada
Publik, yang telah mendapat persetujuan pula oleh DPR menjadi Undang Undang sebagai
syarat konstitusional, Oleh Pemohon (Warga Negara RI) Pengujian Undang Undang
tsb, justru dikabulkan dan telah dinyatakan jika ketentuan materi muatan pasal
terkait yang diuji tsb, adalah bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945,
serta tidak berkekuatan hukum yang mengikat. Sepintas lalu kejadian tsb, seakan
tidak berdampak negative terhadap sistem social kemasyarakatan, namun dalam
suasana sesaat lagi pesta demokrasi rakyat, justru dapat menjadi cap atau
julukan yang dilontarkan publik bahwa presiden semakin jauh mencampuri
kekuasaan kehakiman dalam praktek pennyelenggaraan Negara.
Secara teoritis awalnya sistim kekuasaan
politik dalam Negara yang dikenal dengan ajaran Trias Politika, oleh nara
sumbernya Montesqui, membagi 3 (tiga)
cabang kekuasaan dalam Negara yang saat itu dipraktekkan diwilayah benua
Eropah yaitu : Eksekutif, Legeslatif dan
Yudikatif dengan fungsinya masing-masing : sebagai Pelaksana Peraturan
Perundang Undangan Negara, sebagai Pembentuk Undang Undang, serta sebagai badan
Kehakiman. Juga bahwa ketiga cabang kekuasaan Negara tsb dilaksanakan secara
terpisah sebagai lembaga Negara yang berdiri sendiri sendiri dan lembaga yang
satu tidak tergantung dari lembaga kekuasaan yang lain. Dalam perkembangan
teori kekuasaan lembaga Negara tsb, oleh nara sumbernya yang lain (murid
Montesqui bernama Jhon Lock), justru menganut sistem pembagian kekuasaan ketiga
lembaga Negara tsb , yang tidak memisahkan secara mutlak ketiga lembaga Negara
tsb. Pembagian kekuasaan Negara oleh Jhon Lock tsb, berakibat dalam praktek
bisa terjadi dan dibenarkan jika cabang kekuasaan Negara yang satu turut campur
(intervensi kekuasaan) bahkan dapat memveto cabang kekuasaan Negara lainnya.
Bahwa suatu kejadian politik (kriminalisasi)
terhadap ketua MK, atas tuduhan menerima suap dari perkara sengketa pemilihan
umum kepala daerah diberbagai daerah, dianggap sebagai hal ihwal
kegentingan yang memaksa atau keadaan
yang istimewa untuk menetapkan ketentuan Peraturan Perundang Undangan
(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang/PERPUU) yang mengubah Undang
Undang Tentang Mahkamah Konstitusi RI. Ketentuan mana substansil pokoknya
adalah melarang politisi parpol aktif menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, dengan
menetapkan beberapa syarat untuk diangkat menjadi Hakim Konstitusi dan syarat
proses seleksinya yang oleh pemohon penguji undang undang tsb bertentangan
dengan UUD Negara RI tahun 1945. Ketentuan termaksud oleh pemohon pengujian
undang undang tsb, menyatakan bertentangan dengan konstitusi (UUD Negara RI
Tahun 1945), dengan alasan hukumnya adalah melanggap prinsip Hak asasi manusia.
Kritik dan auto kritik publik mengemuka dengan pra anggapan jika terjadi krisis
pemikiran dan sikap nyata di lingkungan cabang kekuasaan lembaga Negara
Kepresidenan RI, bahwa latar belakang konstatering peristiwa yang ditetapkan
sebagai unsur kegentingan yang memaksa, justru telah disulap menjadi
kepentingan yang memaksa oleh Presiden RI, Namun oleh karena salah satu syarat
kontitusi mengharuskan penetapan PP-PERPUU tsb, mendapat persetujuan DPR untuk
ditetapkan menjadi Undang Undang, dan oleh DPR telah menyetujui sebagai suatu
Undang Undang, maka peristiwa tsb, berbuntut adanya putusan Mahkamah Konstitusi
yang malah sebaliknya menghapus ketentuan larangan yang telah ditetapkan semula
oleh dua cabang kekuasaan dalam Negara RI (Presiden dan DPRD) sekaligus
menunjukkan jika suatu ketentuan hukum yang ditetapkan dan disetujui oleh dua
cabang kekuasaan (Lembaga Negara Pembentuk dan Pelaksana Undang Undang), tidak
serta merta berlaku mengikat dan mendapat pengakuan (legitimitas) oleh publik
khususnya warga Negara RI secara perseorangan (individu) maupun kelompok orang
termasuk (organisasi berkepentingan).
Bahwa konstitusi Negara RI kini
menganut paham pemisahan kekuasaan dalam Negara, model contoh dari ilmuwan
politik (Montesqui), sehingga praktek ketata negaraa (konvensi) dalam kejadian
peristiwa keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tsb, seakan
akan menguji teori politik model contoh ilmuwan politik (Jhon Lock), dengan salah
satu cirinya jika suatu lembaga Negara dapat mengintervensi kekuasaan dan
kewenangan lembaga negara yang lainnya akibat ketiadaan pemisahan mutlak
kekuasaan dalam negara dengan kata lain bahwa yang ada hanya lah pembagian kekuasaan
antar lembaga negara itu sendiri.
Bahwa hikmah pelajaran yang dapat
dipetik atas kejadian tsb, jika kedepan diperlukan adanya ketentuan pembatasan
kekuasaan secara pasti, sejauh mana
suatu lembaga Negara boleh mengatur kekuasaan dan kewenangan suatu lembaga
Negara lainnya dalam Negara RI, meskipun hal itu tidak atau belum ditentukan
dalam konstitusi Negara RI. Sedangkan salah satu cabang kekuasaan atau lembaga
Negara yaitu Mahkamah Agung RI juga
perlu perluasan kewenangannya meliputi pengujian atas pembentukan atau
penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang undang oleh lembaga
Kepresidenan RI. Sehingga diperlukan juga adanya pembatasan ketentuan, peraturan
perundang undangan dalam Negara RI, apabila kejadian politik atau praktek ketatanegaraan
seperti tsb di atas, untuk maksud kelak
tidak dipastikan merugikan hak konstitusional warga Negara RI, dan untuk terlebih
dahulu maupun secara bersamaan diusulkan revisi Undang Undang Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dalam Negara RI, sebab Undang Undang Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dalam Negara RI tsb, telah menyamakan
kedudukan bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PerPUU), dengan
Undang Undang dalam Negara RI. Oleh karenanya apabila secara terpisah penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, tidak dibarengi dengan usul perubahan Undang
Undang tentang pembentukan peraturan perundang undangan, maka hal itu justru cenderung menimbulkan soal sengketa
kewenangan antara lembaga Negara dalam Negara RI, yang tidak hanya perselisihan
kewenangan antara Presiden RI dan DPR RI dengan MK RI, melainkan juga antara
DPR RI dengan Presiden RI dan MPR RI
dengan MK RI. Hal kejadian politik mana semakin menjauhkan kepercayaan publik
terhadap pimpinan lembaga Negara RI yang ada.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar