Rabu, 26 Februari 2014

REFLEKSI PEMIKIRAN DISEKITAR KONVENSI KETATANEGARAAN ALA JHON LOCK



P
ersepsi publik atas praktek penyelenggaraan Negara dalam kejadian terakhir tentang terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, menunjukkan tidak harmonisnya hubungan segi tiga antara Lembaga Negara Kepresidenan dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta Mahkamah Konstitusi RI. Betapa tidak, Perpuu yang diajukan dan ditetapkan oleh Presiden kepada Publik, yang telah mendapat persetujuan pula oleh DPR menjadi Undang Undang sebagai syarat konstitusional, Oleh Pemohon (Warga Negara RI) Pengujian Undang Undang tsb, justru dikabulkan dan telah dinyatakan jika ketentuan materi muatan pasal terkait yang diuji tsb, adalah bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945, serta tidak berkekuatan hukum yang mengikat. Sepintas lalu kejadian tsb, seakan tidak berdampak negative terhadap sistem social kemasyarakatan, namun dalam suasana sesaat lagi pesta demokrasi rakyat, justru dapat menjadi cap atau julukan yang dilontarkan publik bahwa presiden semakin jauh mencampuri kekuasaan kehakiman dalam praktek pennyelenggaraan Negara.
           Secara teoritis awalnya sistim kekuasaan politik dalam Negara yang dikenal dengan ajaran Trias Politika, oleh nara sumbernya Montesqui,  membagi 3 (tiga) cabang kekuasaan dalam Negara yang saat itu dipraktekkan diwilayah benua Eropah  yaitu : Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif dengan fungsinya masing-masing : sebagai Pelaksana Peraturan Perundang Undangan Negara, sebagai Pembentuk Undang Undang, serta sebagai badan Kehakiman. Juga bahwa ketiga cabang kekuasaan Negara tsb dilaksanakan secara terpisah sebagai lembaga Negara yang berdiri sendiri sendiri dan lembaga yang satu tidak tergantung dari lembaga kekuasaan yang lain. Dalam perkembangan teori kekuasaan lembaga Negara tsb, oleh nara sumbernya yang lain (murid Montesqui bernama Jhon Lock), justru menganut sistem pembagian kekuasaan ketiga lembaga Negara tsb , yang tidak memisahkan secara mutlak ketiga lembaga Negara tsb. Pembagian kekuasaan Negara oleh Jhon Lock tsb, berakibat dalam praktek bisa terjadi dan dibenarkan jika cabang kekuasaan Negara yang satu turut campur (intervensi kekuasaan) bahkan dapat memveto cabang kekuasaan Negara lainnya.
            Bahwa suatu kejadian politik (kriminalisasi) terhadap ketua MK, atas tuduhan menerima suap dari perkara sengketa pemilihan umum kepala daerah diberbagai daerah, dianggap sebagai hal ihwal kegentingan  yang memaksa atau keadaan yang istimewa untuk menetapkan ketentuan Peraturan Perundang Undangan (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang/PERPUU) yang mengubah Undang Undang Tentang Mahkamah Konstitusi RI. Ketentuan mana substansil pokoknya adalah melarang politisi parpol aktif menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, dengan menetapkan beberapa syarat untuk diangkat menjadi Hakim Konstitusi dan syarat proses seleksinya yang oleh pemohon penguji undang undang tsb bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945. Ketentuan termaksud oleh pemohon pengujian undang undang tsb, menyatakan bertentangan dengan konstitusi (UUD Negara RI Tahun 1945), dengan alasan hukumnya adalah melanggap prinsip Hak asasi manusia. Kritik dan auto kritik publik mengemuka dengan pra anggapan jika terjadi krisis pemikiran dan sikap nyata di lingkungan cabang kekuasaan lembaga Negara Kepresidenan RI, bahwa latar belakang konstatering peristiwa yang ditetapkan sebagai unsur kegentingan yang memaksa, justru telah disulap menjadi kepentingan yang memaksa oleh Presiden RI, Namun oleh karena salah satu syarat kontitusi mengharuskan penetapan PP-PERPUU tsb, mendapat persetujuan DPR untuk ditetapkan menjadi Undang Undang, dan oleh DPR telah menyetujui sebagai suatu Undang Undang, maka peristiwa tsb, berbuntut adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang malah sebaliknya menghapus ketentuan larangan yang telah ditetapkan semula oleh dua cabang kekuasaan dalam Negara RI (Presiden dan DPRD) sekaligus menunjukkan jika suatu ketentuan hukum yang ditetapkan dan disetujui oleh dua cabang kekuasaan (Lembaga Negara Pembentuk dan Pelaksana Undang Undang), tidak serta merta berlaku mengikat dan mendapat pengakuan (legitimitas) oleh publik khususnya warga Negara RI secara perseorangan (individu) maupun kelompok orang termasuk (organisasi berkepentingan).
               Bahwa konstitusi Negara RI kini menganut paham pemisahan kekuasaan dalam Negara, model contoh dari ilmuwan politik (Montesqui), sehingga praktek ketata negaraa (konvensi) dalam kejadian peristiwa keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tsb, seakan akan menguji teori politik model contoh ilmuwan politik (Jhon Lock), dengan salah satu cirinya jika suatu lembaga Negara dapat mengintervensi kekuasaan dan kewenangan lembaga negara yang lainnya akibat ketiadaan pemisahan mutlak kekuasaan dalam negara dengan kata lain bahwa yang ada hanya lah pembagian kekuasaan antar lembaga negara itu sendiri.
              Bahwa hikmah pelajaran yang dapat dipetik atas kejadian tsb, jika kedepan diperlukan adanya ketentuan pembatasan kekuasaan secara pasti,  sejauh mana suatu lembaga Negara boleh mengatur kekuasaan dan kewenangan suatu lembaga Negara lainnya dalam Negara RI, meskipun hal itu tidak atau belum ditentukan dalam konstitusi Negara RI. Sedangkan salah satu cabang kekuasaan atau lembaga Negara yaitu Mahkamah Agung RI  juga perlu perluasan kewenangannya meliputi pengujian atas pembentukan atau penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang undang oleh lembaga Kepresidenan RI. Sehingga diperlukan juga adanya pembatasan ketentuan, peraturan perundang undangan dalam Negara RI, apabila kejadian politik atau praktek ketatanegaraan seperti tsb di atas,  untuk maksud kelak tidak dipastikan merugikan hak konstitusional warga Negara RI, dan untuk terlebih dahulu maupun secara bersamaan diusulkan revisi Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dalam Negara RI, sebab Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dalam Negara RI tsb, telah menyamakan kedudukan bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PerPUU), dengan Undang Undang dalam Negara RI. Oleh karenanya apabila secara terpisah penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang,  tidak dibarengi dengan usul perubahan Undang Undang tentang pembentukan peraturan perundang undangan, maka hal itu  justru cenderung menimbulkan soal sengketa kewenangan antara lembaga Negara dalam Negara RI, yang tidak hanya perselisihan kewenangan antara Presiden RI dan DPR RI dengan MK RI, melainkan juga antara DPR RI dengan Presiden RI dan  MPR RI dengan MK RI. Hal kejadian politik mana semakin menjauhkan kepercayaan publik terhadap pimpinan lembaga Negara RI yang ada.-

Tidak ada komentar: