Tindak Pidana adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang
undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan
penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi
pelakunya.
Bahwa
Tindak Pidana atas Jaminan produk halal, adalah serangkaian perbuatan terlarang
dan tercela oleh undang undang, dalam kaitan dengan kegiatan untuk menjamin
kehahalan suatu produk, yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, Penjualan dan penyajian produk berupa
barang atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia,
produk biologi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai atau
dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya bahwa keHalalan suatu produk adalah
ditentukan berdasarkan syariat islam dan sertifikat halal. Lebih lanjut bahwa
Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kahalalan produk.
Sedangkan Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan
fatwa Halal Tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bahwa salah satu urgensi pembentukan Norma
hukum pidana (norma pidana) tentang jaminan produk halal, adalah untuk
meningkatkan situasi dan kondisi keamanan dan ketenteramana umum masyarakat
serta sebagai sarana pengawasan dan pengendalian sosial terhadap sikap prilaku
konsumen dan produsen atas suatu produk yang jaminan kepastian hukumnya telah
terlebih dahulu ditentukan oleh hukum agama islam (syariat islam).
Bahwa Ketentuan
tentang larangan sebagai tindak
pidana dalam menjamin kepastian hukum kehalalan suatu produk , terdapat dalam
pasal 56 dan pasal 57, Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal, sebagai berikut :
Pasal 56
Pelakau Usah yang tidak menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud
pasal 25 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda palinh
banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah).
Sedangkan pasal 25 huruf b,
menyatakan pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal.
Pasal 57
Setiap orang yang terlibat
dalam proses jaminan produk halal yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku usaha sebagaimana dimaksud
pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun atau denda
paling banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah).
Sedangkan pasal 43 menyatakan
setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produkhalal (JPH) wajib
merahasiakan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku
usaha.
Bahwa sasaran pokok
ketentuan larangan tsb, adalah semata terhadap pelaku orang perseorangan, Namun
dalam sistem peradilan pidana kini telah membedakan
antara pelaku tindak pidana perseorangan dengan badan (koorporasi), dalam
kedudukannya sebagai subyek hukum, yaitu
pendukung hak maupun kewajiban dihadapan hukum. Oleh karenanya ketentuan atau
norma pidana atas Jaminan Produk Halal, adalah merupakan peraturan perundang
undangan tentang penghukuman akibat pelanggaran kewajiban moral hazad dari
seorang atau beberapa orang pelaku.
Bahwa salah satu fungsi dan hubungan
antara tindakan pemberian tanda atau label produk halal dengan fatwa ulama syariat islam adalah untuk
menyatukan kesamaan dibalik perbedaan persepsi muslim Indonesia terhadap fiqih
maupun ushul fiqih terkait dengan tindak kepercayaan konsumen muslim atas suatu
produk barang maupun jasa yang beredar dalam lalu lintas perdagangan antara
masyarakat dan wilayah, sehingga dapat tercipta kendali mutu kegunaan atau
manfaat serta empaty konsumen muslim atas nilai produksi dan distribusi suatu
barang atau jasa yang beredar di Pasar dalam arti luas. Contoh Ilustrasi bahwa
suatu ketika jenis produk berupa Makanan atau Minuman yang beredar di pasar,
oleh sebab permintaan lebih banyak dari penawaran, maka surplus atau
ketersediaan barang konsumsi tsb, semakin berkurang, sehingga timbul keadaan
dimana tercampur suatu barang yang telah belabel dan kemasan tertentu dengan
barang yang belum berlabel halal. Bagaimana dan indicator apakah yang dapat
segera diketahui tingkat kejelasan Halal tidaknya barang tsb, sehingga terjamin
adanya kepercayaan konsumen muslim terhadap keberadaan dan kehalalan suatu
produk d pasar, yang pada akhirnya dapat diketahui pengaruh minat dan daya beli
masyarakat terhadap suatu barang. Tudingan sisi negative yang tidak segera
dapat terasi justru membutuhkan pandangan nasehat atau fatwa dari para ulama
muslim atau cendekiawan islam untuk menentukan halal tidaknya suatu produk yang
tentunya dengan kerja sama pihak berkepentingan dan instansi atau institusi
terkait lainnya.
Bahwa praktek hukum membedakan pertanggungjawaban
pidana dari pelaku perbuatan pidana yang bertindak selaku orang pribadi yang
tidak bertindak untuk atau atas nama badan usaha atau koorporasi, karena
pertanggungjawaban atas nama korporasi itu semata diletakkan kepada pengurus
inti/utamanya saja, dengan istilah penamaan apapun. Lain halnya
pertanggungjawaban pidana atas kesalahan orang pribadi seseorang, yang tidak
dalam kaitan dan ikatan dengan sesuatu badan usaha atau koorporasi, sehingga
aturan penyertaan atau pembantuan pelaku perbuatan pidana untuk
orang pribadi seseorang dapat dipertimbangkan dengan pembedaan berat ringannya
hukuman secara proporsional untuk mencapai keadilan dan kebenaran serta
kepastian hukumnya.
Kesimpulan :
- Bahwa norma pidana
atas Jaminan Produk halal, merupakan ketentuan implementasi dari Pengakuan,
Perlindungan dan penegakan syariat islam atas kegiatan penyertifikatan atau
pelabelan atau tanda suatu produk halal. Sekaligus sebagai instrument
pengendali kejahatan moral hazad, maupun indicator kesimbangan kepentingan dan
kepercayaan konsumen dan produsen secara timbale balik, dalam mencapai tujuan
bersama yaitu keamanan dan kesejahteraan yang berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar