1.Bahwa sejarah dunia
peradilan pada awalnya membedakan dua macam sistem yaitu : peradilan volunter dan peradilan kontentius
dengan perbedaan pokok jika peradilan
volunter adalah sistem peradilan yang memeriksa dan mengadili serta memutus
perkara tanpa menghadapkan kedua pihak yang saling berselisih, sedangkan
peradilan kontentius adalah sebaliknya menghadapkan secara langsung para pihak yang berselisih
tentang penerapan dan pemberlakuan hukum yang tepat, yang bertujuan
menyelesaikan atau mengakhiri
perselisihan atau perkara. Lebih lanjut bahwa Perkembangan kedua sistem
peradilan tsb, melahirkan perbedaan prosedur pemeriksaan dan pemutusan
perselisihan. baik perselisihan kepentingan maupun perselisihan hukum oleh
juristen, yang dikenal dengan istilah Hukum Acara Peradilan, yang menjadi
pedoman oleh juristen sebagai pemutus perselisihan perkara.
2. Bahwa dalam sistem peradilan umum yang mengadili perkara
perdata dan pidana selalu terdapat dua pihak dalam kedudukan berperkara yaitu :
Penggugat dan Tergugat yang biasanya
juga diiringi masuknya seorang atau pihak dalam salah satu pihak yang sedang
berselisih (intervensi), sedangkan dalam perkara pidana juga ada dua pihak yang
berhadapan langsung yaitu Jaksa penuntut umum dan terdakwa yang dapat
didampingi oleh advokat/penasehat hukum.
3. Bahwa perkara atau
perselisihan ada dua macam yang juga berlainan jenisnya yaitu: perselisihan
kepentingan dan perselisihan hukum itu sendiri, perbedaan perkara mana disatu
segi terdapat secara bersamaan adanya perselisihan kepentingan sekaligus
kepentingan hukum, sedangkan dilain segi
hanya satu kepentingan yang terangkum dalam perselisihan atau perkara yaitu
kepentingan hukum semata, yang terakhir lebih dikenal dengan istilah Yudisial Review
atau pengujian materil suatu peraturan perundang undangan, yang dalam praktek peradilan di negara kita RI,
diselesaikan oleh badan kekuasaan kehakiman atau lembaga peradilan yang berbeda
yaitu untuk pengujian undang undang terhadap undang undang dasar (konstitusi),
diadili dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi, sedangkan untuk pengujian
peraturan yang berkedudukan derajat tingkatannya dibawah dari undang undang,
misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden atau peraturan yang lebih rendah derajat
kedudukannya, terhadap suatu Undang Undang, atau terhadap Peraturan Presiden
atau Peraturan Pemerintah, adalah diadili dan diputus oleh Mahkamah Agung.
4. Bahwa dalam praktek hukum acara peradilan, terdapat suatu
asas yang melarang diperiksa ulang dan diputus ulangnya suatu perkara, yang
dikenal dengan istilah Nebis in idem
yang arti maknanya adalah larangan
mengulangi perkara yang sama pihaknya
dan sama obyeknya serta sama alasannya. Apakah
larangan pengulangan perkara dalam pengujian peraturan perundang undangan juga diberlakukan?
5. Bahwa dalam praktek peradilan sebagai contoh oleh
Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara pengujian undang undang tentang
Pemilihan, telah nyata memberlakukan dan menganut asas nebis in idem dalam
perkara permohonan pengujian undang undang tsb. Sedangkan dalam proses
penyelesaian perkara pidana dan perdata yang pada taraf pemeriksaan kasasi
maupun peninjauan kembali Putusan, oleh
Mahkamah Agung adalah jelas pula menganut dan memberlakukan asas larangan
pengulangan perkara tsb.
6. Bahwa dalam perkara pengujian
peraturan dibawah undang undang terhadap suatu undang undang atau suatu
peraturan menteri atas peraturan pemerintah adalah sebaliknya jika dalam
praktek peradilan oleh Mahkamah Agung adalah
tidak menganut dan tidak memberlakukan asas nebis
in idem tsb, yang penyebabnya adalah jika perselisihan yang berlansung oleh dua
pihak adalah meliputi daya berlaku dan daya mengikatnya suatu peraturan yang dinilai
sesuai kebenaran TAFSIR HUKUM YANG TEPAT, adalah amat bertentangan atau justru tidak bertentangan dengan suatu peraturan yang
kedudukan derajat atau tingkatannya lebih tinggi dari peraturan yang dimohon
ujikan oleh pihak pemohonnya. sedangkan penyebab yang lain adalah jika dalam
hasil pengujian peraturan tsb dinyatakan gagal atau permohonan tidak dikabulkan
oleh hakim pemutusnya, maka dengan permohonan yang lain waktu dan materi muatan
ketentuan peraturan yang berbeda dari permohonan semula dalam kasus posisi yang
sama adalah jelas tetap membuka kesempatan pemeriksaan dan pemutusan ulang uji
materil peraturan oleh Mahkamah Agung sehingga atas kasus uji materil seperti
tsb adalah tidak tepat untuk diberlakukan asas pelarangan ulang berperkara uji
materil peraturan, yang juga sebagai konsekwensi juridis jika Mahkamah Agung
berdasarkan Undang undang juga berwenang untuk membatalkan semua penetapan atau
putusan dalam kaitan perkara yang sedang diperiksa ditingkat Kasasi maupun
untuk meninjau kembali (Peninjauan Kembali/PK) semua putusan pengadilan bawahan sampai putusan
Kasasi pada Mahkamah Agung selain kewenangan menguji materil peraturan dibawah
undang undang.
7. Bahwa dalam perkembangan praktek
peradilan sejak masa dahulu, wewenang memutus pengujian peraturan dibawah
undang undang oleh Mahkamah Agung, telah
mendapat pengakuan public, tentang keberadaannya bahkan terhadap
fungsinya yang dapat menampung perkembangan hukum terkait langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diadili dalam tingkat pemeriksaan Kasasi. Oleh karenanya sebagai kesimpulan dan harapan public pencari
keadilan
dapat merasakan langsung arti dan maknanya suatu kebenaran dari keberadaan suatu
peraturan hukum yang telah dan akan diuji dihadapan hakim pemutus tertinggi
(yuris juridis), maka larangan pengulangan hak uji materil peraturan dibawah undang undang tidak diterapkan dalam praktek peradilan, dalam kehidupan bermasyarakat,
demi mendekati kesempurnaan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri yang
senantiasa didambakan oleh anggota masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar