Rabu, 24 Desember 2014

LARANGAN PENGULANGAN PERKARA DALAM PRAKTEK PERADILAN



1.Bahwa  sejarah dunia peradilan pada awalnya membedakan dua macam sistem  yaitu : peradilan volunter  dan  peradilan kontentius dengan perbedaan pokok jika  peradilan volunter adalah sistem peradilan yang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara tanpa menghadapkan kedua pihak yang saling berselisih, sedangkan peradilan kontentius adalah sebaliknya menghadapkan  secara langsung para pihak yang berselisih tentang penerapan dan pemberlakuan hukum yang tepat, yang bertujuan menyelesaikan  atau mengakhiri perselisihan atau perkara. Lebih lanjut bahwa Perkembangan kedua sistem peradilan tsb, melahirkan perbedaan prosedur pemeriksaan dan pemutusan perselisihan. baik perselisihan kepentingan maupun perselisihan hukum oleh juristen, yang dikenal dengan istilah Hukum Acara Peradilan, yang menjadi pedoman oleh juristen sebagai pemutus perselisihan perkara.
2. Bahwa dalam sistem peradilan umum yang mengadili perkara perdata dan pidana selalu terdapat dua pihak dalam kedudukan berperkara yaitu : Penggugat   dan Tergugat  yang  biasanya juga diiringi masuknya seorang atau pihak dalam salah satu pihak yang sedang berselisih (intervensi), sedangkan dalam perkara pidana juga ada dua pihak yang berhadapan langsung yaitu Jaksa penuntut umum dan terdakwa yang dapat didampingi oleh advokat/penasehat hukum.
3. Bahwa  perkara atau perselisihan ada dua macam yang juga berlainan jenisnya yaitu: perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum itu sendiri, perbedaan perkara mana disatu segi terdapat secara bersamaan adanya perselisihan kepentingan sekaligus kepentingan hukum, sedangkan  dilain segi hanya satu kepentingan yang terangkum dalam perselisihan atau perkara yaitu kepentingan hukum semata, yang terakhir lebih dikenal dengan istilah Yudisial Review atau pengujian materil suatu peraturan perundang undangan, yang dalam  praktek peradilan di negara kita RI, diselesaikan oleh badan kekuasaan kehakiman atau lembaga peradilan yang berbeda yaitu untuk pengujian undang undang terhadap undang undang dasar (konstitusi), diadili dan diputus  oleh Mahkamah Konstitusi,  sedangkan untuk pengujian peraturan yang berkedudukan derajat tingkatannya dibawah dari undang undang, misalnya Peraturan Pemerintah  atau  Peraturan Presiden  atau peraturan yang lebih rendah derajat kedudukannya, terhadap suatu Undang Undang, atau terhadap Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, adalah diadili dan diputus  oleh Mahkamah Agung.
4. Bahwa dalam praktek hukum acara peradilan, terdapat suatu asas yang melarang diperiksa ulang dan diputus ulangnya suatu perkara, yang dikenal dengan istilah Nebis in idem  yang arti maknanya adalah larangan mengulangi  perkara yang sama pihaknya dan sama obyeknya serta sama alasannya.  Apakah larangan pengulangan perkara dalam pengujian peraturan perundang undangan  juga diberlakukan?
5. Bahwa  dalam praktek peradilan sebagai contoh oleh Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara pengujian undang undang tentang Pemilihan, telah nyata memberlakukan dan menganut asas nebis in idem dalam perkara permohonan pengujian undang undang tsb. Sedangkan dalam proses penyelesaian perkara pidana dan perdata yang pada taraf pemeriksaan kasasi maupun  peninjauan kembali Putusan, oleh Mahkamah Agung adalah jelas pula menganut dan memberlakukan asas larangan pengulangan perkara tsb. 
6. Bahwa dalam perkara pengujian peraturan dibawah undang undang terhadap suatu undang undang atau suatu peraturan menteri atas peraturan pemerintah adalah sebaliknya jika dalam praktek peradilan oleh Mahkamah Agung  adalah tidak menganut  dan  tidak memberlakukan  asas  nebis in idem tsb, yang penyebabnya adalah  jika perselisihan yang berlansung oleh dua pihak adalah meliputi daya berlaku  dan  daya mengikatnya suatu peraturan yang dinilai sesuai kebenaran TAFSIR HUKUM YANG TEPAT, adalah amat bertentangan  atau justru  tidak bertentangan dengan suatu peraturan yang kedudukan derajat atau tingkatannya lebih tinggi dari peraturan yang dimohon ujikan oleh pihak pemohonnya. sedangkan penyebab yang lain adalah jika dalam hasil pengujian peraturan tsb dinyatakan gagal atau permohonan tidak dikabulkan oleh hakim pemutusnya, maka dengan permohonan yang lain waktu dan materi muatan ketentuan peraturan yang berbeda dari permohonan semula dalam kasus posisi yang sama adalah jelas tetap membuka kesempatan pemeriksaan dan pemutusan ulang uji materil peraturan oleh Mahkamah Agung sehingga atas kasus uji materil seperti tsb adalah tidak tepat untuk diberlakukan asas pelarangan ulang berperkara uji materil peraturan, yang juga sebagai konsekwensi juridis jika Mahkamah Agung berdasarkan Undang undang juga berwenang untuk membatalkan semua penetapan atau putusan dalam kaitan perkara yang sedang diperiksa ditingkat Kasasi maupun untuk meninjau kembali (Peninjauan Kembali/PK)  semua putusan pengadilan bawahan sampai putusan Kasasi pada Mahkamah Agung selain kewenangan menguji materil peraturan dibawah undang undang.
7. Bahwa dalam perkembangan praktek peradilan sejak masa dahulu, wewenang memutus pengujian peraturan dibawah undang undang oleh Mahkamah Agung, telah  mendapat pengakuan public, tentang keberadaannya bahkan terhadap fungsinya yang dapat menampung perkembangan hukum terkait langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diadili dalam tingkat pemeriksaan Kasasi.  Oleh karenanya  sebagai kesimpulan  dan harapan  public  pencari  keadilan  dapat merasakan langsung arti dan maknanya  suatu kebenaran dari keberadaan suatu peraturan hukum yang telah dan akan diuji dihadapan hakim pemutus tertinggi (yuris juridis),  maka larangan pengulangan hak uji materil peraturan dibawah undang undang tidak diterapkan dalam praktek peradilan, dalam kehidupan bermasyarakat, demi mendekati kesempurnaan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri yang senantiasa didambakan oleh anggota masyarakat.

Tidak ada komentar: