I.
PENDAHULUAN
Bahwa aspek pengaturan tentang
penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami penyesuaian dengan perkembangan
dinamika kehidupan politik dan ketatanegaraan kita, dengan telah di
undangkannya Undang Undang Nomor : 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
yang termuat dalam Lembaran Negara RI tahun 2014 No.244 dan Tambahan Lembaran
Negara RI No. 5587, dan dibutuhkan pula pengaturan pelaksanaan lebih lanjut
terkat persoalan kerja sama dan perselisihan antara daerah, apalagi tentang
keuangan daerah, namun pembahasan kali
ini terbatas pada persoalan kerja sama
dan persoalan perselisihan antara
daerah,khususnya antara provinsi. Persoalan mana meliputi kesepakatan dan
proses penyelesaian perselisihan yang sering ddialami oleh pihak aparat maupun
pihak berkepentingan lainnya.
II. PEMBAHASAN
A.
Dalam Ketentuan Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 UU No.23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, telah dinyatakan klasifikasi urusan pemerintahan yang terdiri atas 3 macam yaitu :
1.
Urusan Pemerintahan Absolut yang meliputi
urusan :
a. Politik Luar Negeri ;
b.
Pertahanan ;
c.
Keamanan ;
d. Yustisi
;
e.
Moneter dan Fiskal Nasional ;
f.
Agama ;
2.
Urusan Pemerintahan konkuren adalah
urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan Kabupatenkota),
yang menjadi kewenangan Daerah dan terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Selanjutnya urusan wajib yang
merupakan pelayanan dasar meliputi :
a.
Pendidikan ;
b. Kesehatan ;
c. Pekerjaan Umum dan Tata Ruang ;
d.
Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman ;
e. Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan
Masyarakat ;
f. Sosial.
Serta urusan wajib yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar adalah urusan
yang meliputi :
a.
Tenaga
Kerja ;
b. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ;
c. Pangan ;
d.
Pertanahan
;
e. Lingkungan Hidup ;
f. Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil
;
g. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa ;
h. Pengendalian Penduduk dan Kemuarga Berencana ;
i. Perhubungan ;
j. Komunikasi dan Informatika ;
k. Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah ;
l. Penanaman Modal ;
m. Kepemudaan dan Olah Raga ;
n. Statistik ;
o. Persandian ;
p. Kebudayaan ;
q. Perpustakaan dan Kearsipan.
Sedangkan
Urusan Pilihan meliputi :
a.
Kelautan
dan Perikanan ;
b. Pariwisata ;
c. Pertanian ;
d.
Kehutanan
;
e. Energi dan Sumber Daya Mineral ;
f.
Perdagangan ;
g. Perindustrian ;
h. Transmigrasi.
B.
Bahwa ketentuan pasal 13 menyebut prinsip pembagian urusan antara pemerintah
pusat dan daerah antara lain : Akuntabilitas, Efisiensi, Eksternalisasi, dan
kepentingan strategi nasional, disamping
menyebut criteria urusan masing masing yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan Daerah Provinsi serta
Daerah Kabupaten/kota sebagai berikut :
a. Kriteria urusan kewenangan pemerintahan pusat
yaitu : (1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi, (2)
Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas daerah provinsi atau lintas Negara,
(3) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah
provinsi atau lintas negara, (4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien jika dilakukan
oleh pemerintah pusat dan atau urusan pemerintahan yang peranannya strategi
bagi kepentingan nasional.
b.
Kriteria urusan kewenangan Daerah
Provinsi yaitu : (1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas daerah
Kabupaten/Kota, (2) Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas daerah
Kabupaten/Kota, (3) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas daerah kabupaten/kota, (4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien jika dilakukan
oleh Daerah Provinsi.
c.
Kriteria urusan kewenangan Daerah
Kabupaten/Kota yaitu : (1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam daerah Kabupaten/Kota,
(2) Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam daerah Kabupaten/Kota, (3)
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya dalam daerah
kabupaten/kota, (4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien jika dilakukan oleh Daerah KabupatenKota.
C.
Bahwa pendekatan kewenangan dalam
kerangka pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah selain prinsip dan criteria urusan pemerintahan, sering mejadi tidak jelas
akibat polarisasi pembagian kewenangan
dasar yang berasumsi jika seuatu urusan dan kewenangan tidak dilaksanakan
sendiri oleh pemerintah pusat adalah berarti menjadi kewenangan dan urusan pemerintah
daerah provinsi dan kabupatem/kota,
sehingga asumsi tersebut menunjukkan jika
kini tidak dianut lagi kewenangan dan urusan bertingkat/berjenjang, pengamvil
alihan kewenangan dan urusan dimungkinkan secara berjenjang oleh kepala daerah
terutama Gubernur sebagaai wakil pemerintah pusat, bersama Instansi Vertikal
Pemerintah pusat di eilayah provinsi, namun pucuk akhir tanggungjawab
pemerintahan adalah berada ditangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan pusat, sedangkan candra dimuka adalah kepala daerah provinsi
dan kabupaten/kota. Hal tersebut mengingatkan kita akan gaya kepemmpinan Lesser
fair, yang menganut kebebasan inisiatif dan tanggungjawab utama pada kepala
daerah selaku kepala pemerintahan daerah.
D.
Bahwa secara fungsional hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terletak selain hubungan
aspek kewenangan berjenjang, adalah pada aspek keuangan dan penyelenggaraan
urusan pemerintahan itu sendiri terutama urusan pemerintahan umum. Jika urusan
pemerintahan umum adalah tidak semata bersumber dari dan menjadi kewenangan dan
urusan pemerintah pusat melainkan juga adalah menjadi kewenangan dan urusan
pemerintah daerah, sebab masih ada
terdapat criteria urusan yang tidak
/belum diatur yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun tidak
tergolong urusan otonomi (desentralisasi) dan dekonsentrasi maupun tugas
pembantuan. Diantaranya sebagai contoh sebagai berikut : pengukuhan masyarakat dan
desa adat setempat, yang membutuhkan perlindungan sosial dan budaya serta
pengembangan pemberdayaan hak hak
ulayatnya dibidang perkebunan pertanian dan peternakan serta kewilayahan
pesisir pantai dan pulau kecil. Yang inti personalannya adalah bagaimana hak
inisiatif serta kreatifitas pemerintah
daerah dapat menyelenggarakan pelayanan
baik segi pengaturan, pengawasan, pengendalian serta pembinaannya. Hal tersebut
menunjukkan pemerintah daerah adalah menjadi penggerak Inisiator masyarakat
setempat dan sebagai pengawas sejakigus Pembina smasyarakat tersebut ecara
umum.
E.
Bahwa masalah kerja sama antara daerah dalam ketentuan pasal 363 sampai dengan pasal 368 Undang Undang
No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, yang pokoknya membagi kerjasama
antara daerag ke dalam kerja sama wajib
dan kerjasama sukarela baik antara daerah provinsi, antara provinsi dan
kabupaten/kota atau antara kabupaten/kota
dalam atau diluar wilayah provinsi yang sama maupun antara daerah
provinsi/kabupaten.kota dengan pihak ketiga yang meliputi pihak berasal dari
negara asingluar negeri.
Bahwa kerja sama antara daerah berpangkal
pokok pada bentuk dan isi perjanjian.kesepakatan para pihak itu sendiri yang berpedoman pada ketentuan hukum
/peraturan perundang undangan yang sah dan berlaku mengikat. Namun peraturan
pelaksanaan yang diperlukan adlah apabila perjanjian kerja sama daerah dengan
pihak asing maupun pihak ketiga lainnya yang sifatnya mengikat dan membebani
masyarakat daerah setempat, seharusnya dibuat/dicantumkan dalam persetujuan
DPRD setempat dan sedapat mungkin ditampung dalam PERDA, sehingga aspek
pengawasan dan pembinaannya terkoordinir secara tepat dan berhasil guna
keberadaannya. Isi Kerjasama tersebut baik dalam rangka peningkatan pelayanan
dasar public maupun aspek public lainnya terutama upaya peningkatan dan
pemeratan pendapatan masyarakat.
F.
Bahwa Perselisihan antara Daerah dalam
ketentuan pasal 370 Undang Undang No.23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, menyatakan jika terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan antara daerah provinsi, antara daerah provinsi dengan
kabupaten.kota dalam wilayahnya, dan antara antara daerah provinsi dengan kabupaten.kota
diluar wilayahnya, diselesaikan oleh Menteri, sedangkan Keputusan penyelesaian perselisihan oleh
menteri adalah bersifat final. Dalam hal Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat tidak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. Persoalan menjadi
kompleks jika yang berselisih adalah antara dua pemerintah daerah provinsi. Sebagai
contoh adalah masalah batas wilayah administrasi berikut pemanfaatan pengelolaan
pulau kecil.
Bahwa masalah penentuan batas wilayah
administrasi suatu pulau atas suatu wilayah tertentu pernah ditetapkan oleh
suatu kementerian/pemerintah pusatm namun belakangan oleh menteri yang sama mengubah
lagi status wilayah administrasi suatu pulau tersebut, namun sebelumnya pernah
diajukan uji materil kepada lembaga peradilan yang hasilnya singkron dengan
peraturan terakhir yang telah diterbitkan oleh menteri tersebut, Pertanyaan
yang tersisa adalah Apakah Menteri tersebut dibolehkan mencabut peraturan
terakhir yang diasumsikan telah merugikan kepentingan satu daerah provinsi
terkait ? Apakah tindakan pencabutan peraturan tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum public (Hukum administrasi negara)?. Apakah untuk proses pecabutan peraturan
tersebut harus dimulai lagi dengan uji materil ulang kehadapan lembaga
peradilan yang berwewenang ?
Jawaban atas pertanyaan diatas adalah
tergantung pilihan proses oleh pihak berkepentingan sebagai konsekwensi logis dari daya
berlakunya dua macam peraturan tentang proses penyelesaian antara daerah
tersebut, disatu segi adalah sesuai dengan Ketentuan Undang Undang Tentang
Pemerinatahan Daerah, sedangkan dilain segi adalah sesuai dengan sesuai dengan
Ketentuan Peraturan Lembaga Peradilan yang sah dan berwewenang yang menurut
ketentuan Undang Undang tentang mahkamah agung dan Undang Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, beserta praktek penyelenggaraan
pemerintahan maupun praktek peradilan negara RI.
III.
KESIMPULAN
-
Bahwa terdapat alternative pilihan
proses penyelesaian perselisihan antara daerah yang mengenai aspek penyelenggaraan
urusan pemerintahan, baik urusan wajib dan pilihan (urusan konkuren) maupun
urusan pemerintahan umum.
-
Bahwa perselisihan antara daerah
sejogyanya diselesaikan secara prioritas yang terkait langsung dengan Isi
Kesepakatan Kerja sama antara daerah, maupun terkait dengan penegasan batas
wilayah admiistrasi antara daerah.
-
Bahwa peran serta masyarakat secara
individu mapun kelompok dalam upaya penyelesaian perselisihan antara daerah
tetap diperlukan dalam bingkai penguatan konstitusi dan demokrasi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar